Kita terjerumus pada kehidupan yang kasat. Pada titik itu, kita merasa amat perlu untuk membentuk citra yang baik di hadapan manusia. Gerak-gerik kita diatur, tutur kata kita dijaga, moda pakaian kita ditata hingga kita berharap tak punya celah lagi untuk dikomentari dan dihakimi secara negatif. Di hadapan manusia, kita merasa tengah dikelilingi seribu Atid –malaikat pencatat amal-amal buruk. Hati menjadi kisruh karena berharap ada puja-puji yang datang berkerumun, dan bertambah kisruh ketika justru kritik yang menyela dan pengabaian yang diterima.
Ketika kehidupan yang kasat itu menjadi satu-satunya alasan kepribadian kita, akhlak kita, tutur dan tindak tanduk kita, justru kita tidak mendapati kebahagiaan dari amal baik kita. Raqib –malaikat pencatat amal-amal baik, semakin tak terasa kehadirannya. Kita kehausan kredit pada manusia, kehabisan tenaga untuk mendapat pahala dalam bentuk sanjung dan puja.
Kita perlu memotret diri, lalu dipoles sebelum disebarkan kepada dunia yang luasnya tak lagi berbatas. Dengan sekali-dua kali pencet gawai, kita dirubung respons manusia. Apa yang perlu diabadikan dalam hidup yang kasat, adalah juga hal-hal yang kasat: makanan, minuman, tempat plesiran, bahkan relasi antara kita dan Tuhan.
Pada mereka yang di pucuk kekuasaan –juga yang tengah berusaha menggapai-gapai kursi kepemimpinan, pose adalah azimat dan pemasaran menjadi syariat. Kita merasa penting untuk membuat skenario seperti drama yang akan dipentaskan untuk manusia, menyusun narasi paling indah yang membuai siapa saja yang membaca-dengarnya. Tapi, apakah yang dimintakan dari kepemimpinan, sesungguhnya? Pertanggungjawaban tentang apa yang digenggamnya, dikemudikannya, diatur dan diselaraskannya. Kepada manusia pula, tetapi yang paling utama kepada Tuhan.
Kehidupan yang kasat membuat kita merasa ada seribu Atid pada diri manusia lain, tetapi kehabisan daya untuk mengingat Atid sesungguhnya dalam kesendirian. Kita berupaya keras memperbaiki citra di depan manusia seolah hanya ada satu Raqib di kerumunan Atid, tapi kehabisan akal untuk menyemai kebaikan di saat hanya ada kita dan Tuhan.
Puasa mengingatkan kita di mana Allah –yang tak kasat. Puasa itu untukKu, firmanNya dalam hadits qudsi. Dan Aku yang akan membalasnya. Dalam kesendirian, kita bahkan tak lagi makan dan minum seberapapun kita tahu kehalalannya. Bahkan, rela meninggalkan yang makruh, setidaknya ditunda hingga berbuka. Kita menjadi bagian dari mereka yang “telah meninggalkan syahwat dan makanan karenaKu”. Kita melepas segala yang kasat; perhitungan manusia dan penghakiman makhluk. Kita merasa Allah benar-benar hadir, menatap lekat gerak-gerik kita. Kita mengerti benar bahwa dalam kesendirian, Allah menjadi yang kedua; dalam berduanya kita, Allah menjadi yang ketiga; dalam himpunan tiga manusia, Allah ada sebagai yang keempat; dan dalam jumlah seberapapun, Allah akan selalu hadir. Raqib mencatat, seperti Atid mencatat dalam keadilan yang sempurna.
Adakah suatu waktu selepas berpuasa, kita tetap merasakan hal yang sama? Yang membuat kita tak sebegitu dahaga pada pujian Raqib dalam tuturan makhluk. Yang tidak membuat kita menjadi lebih takut seribu Atid dalam rupa manusia.
Rotterdam, Ramadhan 1438
Foto diambil dari: https://www.imore.com/sites/imore.com/files/styles/larger/public/field/image/2016/02/Facebook-Reactions-Hero-iPhone-Web.jpg?itok=EsSbOlg0