“Waktu tidur dan istirahat sudah tidak ada lagi, Khadijah,” jawab Muhammad ketika Khadijah memintanya istirahat kembali setelah kejadian Iqra di Gua Hira.[1] Kedatangan wahyu kedua itu menandakan tonggak baru dalam risalah kenabiannya. Muhammad diberi tanggung jawab tandzir –memperingatkan kaumnya. Tanggung jawab yang setelah habis risalah kenabian karena wafatnya, kini digenggam oleh kita sebagai umatnya.
Inilah jabatan yang tak pernah kita minta, tak sekalipun kita kampanyekan, proposalkan, tenderkan, dan tak pula kita rebutkan hingga berkelahi dan saling benci, tetapi Allah menyematkannya, bahkan sejak Adam diwacanakan untuk diciptakan di tengah para malaikat. Khalifah![2] Bebannya bertambah sejak wafatnya Muhammad untuk tak sekadar mengelola dunia, tetapi ta’muruuna bil ma’ruf dan tanhawna ‘anil munkar –menyeru kebaikan dan mencegah kemunkaran.[3] Apa yang memalingkan kita dari jabatan yang begitu krusial ini dan membuat kita lalai, bahkan menjadi antitesa dari sesuatu yang semestinya kita emban?
Muhammad berselimut karena begitu takutnya, bingungnya, dan tak mengertinya ia tentang wahyu ketika itu. Kita tak lagi bimbang tentang wahyu dan tanda yang telah dijelaskan gamblang dalam Al Qur’an, tetapi seringkali memilih untuk berselimut dalam kesenangan dunia kita sendiri. Kita perlahan lupa ada komando serupa qum fa-andzir –bangun, tegakkanlah diri, luruskanlah niat, lalu berilah peringatan kepada manusia. Tandzir yang tak sekadar berteriak di podium, garang dalam tulisan, bersahut-sahutan meningkahi kezaliman di media sosial, tetapi tandzir yang meletakkan Allah sebagai komponen paling besar dalam wilayah kehidupannya dan menyingkirkan motif lain, tuhan-tuhan lain dalam parade yang kita sebut da’wah. Warabbaka fakabbir.[4]
Tandzir yang juga tak melulu menunjuk hidung manusia lain, mengomentari, mengkritik, dan mempersalahkan yang dianggap keliru, tetapi yang memutuskan untuk menjadi paripurna sejak dalam diri kita sendiri. Bermula dari membersihkan pakaian, citra diri yang sepenuhnya tanpa dihias-hias, dipoles, di-make-up, diskenariokan, dikonsultankan –tsiyabaka fathahhir, sehingga tak lagi tersisa lubang bagi orang lain untuk memperkarakan keburukan kita.[5] Penyeru kebaikan pertama-tama berkepentingan untuk menampakkan kebaikan dalam dirinya sendiri, mengartikulasikan kebenaran dalam tutur dan sikapnya, menunjukkan langkah lurus dan tak berbelok apalagi tersesat, dan menjauhkan diri dari kezaliman dan dosa yang merusak. Ia berada dalam lingkaran kesalihan sebelum menjadi mushlih yang sesungguhnya.
Itu pun belum sepenuhnya cukup. Kita kerap tergoda pada dunia sehingga berharap-harap mendapatkan materi yang lebih banyak saat memberi. Ada intensi duniawi yang terselip: balasan harta, posisi, status sosial, dan pujian dari manusia. Walaa tamnun tastaktsir. Maka, pada saat itulah kita membutuhkan kesabaran untuk menahan-nahan hawa, menutup telinga dari godaan, dan meneguhkan langkah dengan sandaran hanya kepada Tuhan. Walirabbika fashbir.[6]
Jabatan ini sudah kita emban tanpa sekalipun kita todongkan kepada Tuhan. Barangkali kita masih sering tergiur dengan jabatan lain yang membuat kita lalai menghindar –bahkan berselimut dengan seribu macam alasan dan apologi. Selimut apa lagi yang masih berlapis ketika Allah sudah menjanjikan gaji yang tak ada bandingnya –surga yang hamparnya seluas langit dan bumi?
Rotterdam, Ramadhan 1438
[1] Lihat “Sejarah Hidup Muhammad” karya Muhammad Husain Haekal, saat Rasulullah menerima wahyu pertama dan kedua.
[2] Lihat QS Al Baqarah 30
[3] Lihat QS Ali Imran 110
[4] Lihat QS Al Muddatsir 2-3
[5] Lihat QS Al Muddatsir 4-5
[6] Lihat QS Al Muddatsir 6-7
Gambar diambil dari: http://www.yuk-kenal-nu.net/wp-content/uploads/tmd_thumbnails/xBangunan-NU-135479_851x400.jpg