Setan Terbelenggu, Mal Tak Terkunci

5 mins read

Menjelang akhir Ramadhan, kita pelan-pelan mulai lupa nasihat-nasihat yang membanjir di awal Ramadhan, bahkan sebelum hilalnya nampak. Idzaa dakhala ramadhaan, shuffidatisy syayaathiin. Jika tiba bulan Ramadhan, setan-setan terbelenggu. Kita bersorak sorai ketika mendengar hadits Rasulullah shallalahu’alayhi wassallam (Saw.) itu. Tidak peduli kita memaknainya secata letterlijk atau majazy. Tidak peduli pula apakah dalam bayangan kepala dan pikiran kita: setan-setan itu terpojok di sudut ruangan, terborgol, dan tak berdaya, atau tubuh dan jiwa kita membesar sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi ruangan yang bersisa untuk setan mondar-mandir dalam kehidupan puasa kita.

Kita mengamini keyakinan terhadap sabda Rasulullah Saw, namun menggerusnya sendiri sepanjang tempuhan jalan Ramadhan. Sejak hari pertama Ramadhan, barangkali kita telah mengkhianati puasa kita. Coba tengok meja makan kita menjelang berbuka. Hidangan tampak lebih mewah, bervariasi, dan berwarna-warni ketimbang di luar Ramadhan. Daftar belanjaan tiba-tiba memanjang. Budget jajan mendadak melonjak. Kita mengamini puasa dalam perkara menahan lapar dan haus sepanjang siang, tapi mengingkarinya sendiri, bahkan jauh sebelum matahari mulai terbenam.

Kita merayakan konsumerisme di tengah laju upaya kita menahannya dalam ritual yang kita agung-agungkan. Kita tengah mendayung melawan arus yang kita buat sendiri. Beruntung bila power dayungan kita lebih kuat, merugi bila kekuatannya sama dan resultante-nya nol, namun celaka jika kita terpental ke belakang dan kehilangan pathway, arah ke mana puasa ini kta tujukan.

Lantas kita menyadari bahwa, jangan-jangan, yang kita tahan selama berhari-hari ini adalah formalitas menyuap dan meneguk. Selebihnya, pandangan kita masih saja kabur. Diam-diam kita menyeruput nafsu sendiri, menahannya di rongga mulut untuk kemudian kita teguk dan berharap tak pernah ada yang tahu, bahkan diri kita sendiri.

Terlebih, menjelang akhir Ramadhan, mal-mal tak terkunci. Pintunya, reklamenya, dan lapangan parkirnya seolah-olah melambai-lambai. Pasar-pasar, bahkan, tak berpintu. Konsumerisme menjelang ‘hari kemenangan’ dirayakan dengan sangat sedap. Kita berharap-harap cemas ada uang tambahan yang mengucur, ada tunjangan hari raya yang masuk ke tabungan, dan ada kemurahan hati orang-orang yang memberi. Uang dan kelebihan harta itu kita nikmati sejenak saja, selintas lewat. Mengendap sebentar untuk dihitung, diatur skema belanjanya, lalu dikeluarkan lagi. Bahkan, kita sendiri barangkali tak mengerti betapa cepatnya nominal angka itu singgah.

Kita menjadi contoh anak-anak manusia dalam gambaran Rasulullah Saw. saat beliau membaca alhaakumut takastur. “Anak-anak manusia itu mengucapkan, ‘hartaku, hartaku’,” kata beliau. Kalla sawfa ta’lamuun, tsumma kallaa sawfa ta’lamuun. Dua kali, berturut-turut, Allah menyebut dan mengingatkan: kelak kita akan mengerti sendiri, memahami dengan mata batin sendiri, menyadari dan meyakini kekeliruan yang kita tumpuk sendiri.

“Bukankan yang telah kalian makan itu, lalu habis,” lanjut Rasulullah Saw. “Bukankah pula yang kalian pakai itu, lalu rusak?” Pertanyaan itu retoris. Tak perlu kita jawab. Kita hanya perlu menyepakati apa yang beliau sebutkan di akhirnya, “Yang telah kalian sedekahkan, kalian infakkan, itulah yang bersisa.” Kita semestinya kembali lagi menyusuri daftar belanja yang sudah disusun panjang dan rencana-rencana pembakaran uang di sekitaran lebaran. Seberapa banyak yang lenyap, seberapa banyak yang bersisa? Seberapa proporsional rasionya, seberapa adil pembagian dunia dan akhiratnya?

Namun, mal-mal itu memang tak terkunci. Pasar-pasar itu terbuka lebar. Kampung halaman sudah memanggil-manggil. Barangkali, setan memang terbelenggu. Dengan muka dan rayu manisnya, kita tertipu. Kunci borgolnya kita lepas sendiri, ajakannya kita amini lagi. Kita merayakan konsumerisme justru di hari-hari puncak ketika semestinya kekuatan menahan diri sudah berada pada tahap masak-masaknya. Tanpa sadar, kita menerabas kemampuan finansial kita sendiri, kita meruntuhkan batas kepantasan yang kita bangun sepanjang puasa.

Menghadapi Syawwal yang tinggal beberapa hari lagi, kita semestinya berada pada jalur yang menanjak, pada keimanan yang masih penuh semangat. Kalaupun kita tercecer oleh nafsu sendiri, jangan sampai kita membiarkan diri tersapu dan terjerembab ke titik nol lagi, apalagi minus. Karena Ramadhan –yang setan-setan itu kita yakini tengah terbelenggu – masih harus kita nantikan sebelas bulan lagi.

Rotterdam, 21 Ramadhan 1439

Gambar fitur dimodifikasi dari gambar di: https://www.blibli.com/promosi/hiceh-sudah-siap-sambut-lebaran

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan