///

Sumbat Komunikasi Dokter Layanan Primer

11 mins read

Dua hal besar dalam pergolakan ini yang harus ditekan: ketergesa-gesaan dan kekhawatiran terhadap perubahan. Perubahan tidak dapat disangkal sebagai sebuah keniscayaan pada zaman yang melaju begitu cepat. Namun, keterburu-buruan untuk berubah hanya akan mengosongkan hasil. Ketakutan dan kekhawatiran kita pada perubahan, di sisi yang lain, juga tidak akan membuat kita beranjak dari manapun. Jumud.

 

Dua hari setelah aksi demo dokter di Hari Dokter Nasional, 24 Oktober 2016, saya melakukan pengamatan sederhana dari berita yang bermunculan. Demo yang dilaksanakan di lebih dari 15 kota itu punya suara yang serupa: menentang dibukanya program studi Dokter Layanan Primer (DLP).

 

Saya menganalisis tiga puluh berita online secara konsekutif melalui mesin pencari Google dengan terlebih dahulu menyaring berita dengan narasumber yang sama atau sumber berita yang sama.[i] Hasilnya tidak begitu mencengangkan. Setidaknya ada 13 alasan yang sempat dikemukakan sebagai alasan penolakan. Penambahan masa studi dokter yang dianggap wajib menjadi alasan teratas (17.5%), diikuti dugaan pemborosan anggaran negara, prioritas pembenahan dan ketersediaan fasilitas dan obat-obatan (14%), serta anggapan merendahkan kompetensi dokter yang telah dicapai (12.3%).

 

Isu ini sudah berkembang seperti bola salju dalam dua tahun belakangan. Pemerintah, satu hari setelah demo berlangsung, masih bersikukuh melanjutkannya dengan alasan bahwa program DLP merupakan amanat Undang-Undang Pendidikan Kedokteran (UU Dikdok) No 20 tahun 2013 yang harus dilaksanakan. Secara legal, argumen ini tidak dapat dibantah. Apalagi, hasil judicial review memperkuat alasan hukum tersebut.

 

Namun, konteks legal formal ini dianggap menafikan konteks sosiologis yang berkembang belakangan –yang uniknya, banyak didasari oleh misinformasi dan ketidaklekatan komunikasi antara pihak yang pro dan kontra terhadap DLP.

 

Asumsi keliru

Meski dua tahun perdebatan berjalan, alasan yang dikemukakan relatif tidak berubah. Alasan yang paling banyak ditemukan tentang asumsi negatif mengenai penambahan masa studi dokter yang dianggap wajib menunjukkan hal tersebut. Alasan ini kebanyakan ditemukan dari aksi demo di daerah, bukan di ibukota, bahkan setelah Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) telah mengubah alasan beberapa kali dan tidak lagi menggunakan alasan tersebut sebagai basis penolakan.

 

Menanggapi asumsi negatif tersebut, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan memang telah berupaya melakukan sosialisasi DLP ke berbagai daerah. DLP bukan program wajib, tetapi alternatif bagi dokter yang ingin memperdalam keilmuan di layanan primer dengan tetap membuka ruang pemberian layanan bagi dokter umum. Maka, kekhawatiran bertambahnya masa studi dan biaya yang semakin mahal menjadi tidak lagi signifikan untuk dikemukakan.

 

Begitupun dengan alasan bahwa munculnya DLP menegaskan asumsi bahwa dokter umum saat ini tidak kompeten –yang menjadi alasan keempat terbanyak. Dengan menyimak diseminasi informasi Kemkes hal tersebut sudah dapat terbantah sejak awal.

 

Adanya asumsi yang keliru ini menimbulkan pertanyaan penting: mengapa masih terjadi? Sumber masalahnya dapat dipecah menjadi dua, yaitu tidak sempurnanya diseminasi informasi atau tertutupnya informasi yang semestinya masuk. Informasi yang disampaikan oleh Kemkes tidak menjangkau mereka yang selama ini menolak dan kerap berfokus melalui jejaring institusi pemerintah dan akademik. Di sisi lain, tidak ada dukungan dari jejaring profesi untuk membuka jalur komunikasi kepada konstituennya sehingga memunculkan kesan adanya ‘misinformasi yang dirawat’.

 

Kritik program

Meski demikian, mengacu pada fakta bahwa DLP adalah opsional, bukan kewajiban, wajar bila ada tanda tanya besar; mengapa pemerintah begitu bernafsu menggelontorkan uang untuk hal tersebut yang –pada alasan lain disebutkan, belum memiliki bukti kuat secara ilmiah (1.8%). Hal ini yang diasumsikan sebagai pemborosan (14%) –alasan kedua terbanyak, padahal dana dapat dialokasikan untuk prioritas yang lebih tinggi.

 

Bukti ilmiah penguatan layanan primer sudah bertebaran di berbagai studi, namun harus diakui bahwa pendekatan melalui prodi spesialistik masih terbuka untuk diperdebatkan secara ilmiah. Ada banyak sebutan bagi dokter yang berpraktik di layanan primer di beragam negara, di antaranya dokter keluarga (family physician), dokter umum (general practitioner), dokter (doctor), bahkan ada yang memasukkan dokter anak dan internis umum dalam strata layanan kesehatan primer. Tidak ada standar khusus mengenai sebutan, demikian pula dengan program pendidikannya.

 

Kritik ini penting untuk didengar karena dalam pendekatan prioritas program kesehatan, misalnya kajian teknologi kesehatan (health technology assessment), unsur efektivitas dengan luaran dan biaya yang terukur, juga definisi intervensi yang tepat, menjadi krusial. Pendekatan ini menjadi semakin penting ketika kita tengah berupaya melakukan efisiensi atas kebocoran dana akibat implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang sesungguhnya sudah dapat diprediksi di masa-masa awal implementasi.

 

Maka, selain aspek legal, kebijakan dapat diformulasikan dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, serta sosio-kultural –dengan memperhatikan konteks budaya dan geografis Indonesia yang begitu luas.

 

Sumbat komunikasi

Bergemingnya pemerintah didasari pada keyakinan bahwa DLP, secara presumtif, dapat meningkatkan kualitas layanan primer yang dimilikinya. Keyakinan ini dianggap wajar. Terlebih, dana yang dikeluarkan memang dialokasikan untuk peningkatan kompetensi sumber daya yang berada di wilayah kewenangannya. Meski demikian, hal ini pun menunjukkan inkonsistensi terhadap alasan yang dikemukakan di awal bahwa pendalaman kompetensi merupakan hal opsional. Mengapa hal yang opsional menjadi patut untuk didanai secara institusional?

 

Kontradiksi ini menggambarkan sumbatan komunikasi karena masing-masing pihak telah berdiri dan bersikukuh pada standing point-nya masing-masing. Tidak ada titik temu karena alasan penolakan selalu berkembang dan melebar, begitupun dengan jawaban atas alasan-alasan tersebut. Diskursus dan strategi yang diambil kemudian cenderung bernuansa politis ketimbang perdebatan substansi yang kritis dan membangun. Dialog yang konstruktif perlahan hilang, padahal perdebatan di wilayah substansi itulah yang dibutuhkan untuk menajamkan, atau justru memikirkan ulang, program DLP.

 

Dokter dan calon dokter perlu untuk dibekali gambaran mengenai perbedaan kompetensi antara dokter umum dan DLP secara gamblang. Sebagai program ‘setara spesialis’, DLP juga dituntut untuk memiliki proporsi ciri khusus yang mencukupi dan tidak didapati pada pendidikan dokter umum. Sampai saat ini, deskripsi tersebut masih belum dipahami dengan baik oleh kalangan profesi karena minimnya jabaran yang dipaparkan. Padahal, program ini sudah dijalankan dan akan semakin luas dijalankan di hampir seluruh fakultas kedokteran berakreditasi A.

 

Fakta lapangan mengenai persiapan pembukaan prodi yang belum maksimal juga kerap menjadi umpan untuk memunculkan kritik anti-DLP. ‘Mengapa hanya dibekali dua bulan?’, ‘Pembekalan dilakukan ala kadarnya’, ‘Kami juga tidak paham apa yang nanti akan diberikan’, dan pertanyaan lain yang masih perlu dijawab dengan seksama.

 

Kateterisasi

Pada tataran konsep layanan primer, kita tidak lagi meributkan betapa pentingnya penguatan di layanan kesehatan primer. Yang kita butuhkan adalah kateterisasi untuk secara bersama menemukan sumbatan dan memperlebar lagi jalan komunikasi yang disepakati bersama. Harus ada jalan tengah yang disepakati demi kemaslahatan masyarakat. Secara filosofis, penguatan layanan kesehatan primer menjadi dasar kuat bagi penyelenggaraan sistem kesehatan negara dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Namun, DLP yang saat ini masih berujud sebagai sebuah program opsional, tidak lantas dapat menyandarkan bukti ilmiah sepenuhnya pada hasil yang didapatkan dari banyak pengalaman dan studi di luar negeri.

 

Sebagai konsekuensinya, pemerintah harus mampu menahan diri dengan secara lebih ketat menyeleksi dan mempersiapkan institusi yang akan menyelenggarakan program DLP dengan mempertimbangkan sumber daya dan kesiapan secara matang. Jika memang yang diinginkan adalah masa transisional selama (dalam asumsi) dua puluh tahun ke depan, penyiapan institusi yang akan mengampu jelas menjadi dasar penting yang harus disiapkan secara matang.

 

Nada miring yang muncul di situasi mutakhir juga didasarkan pada praktik penyelenggaraan pendidikan DLP dan persiapannya yang masih jauh dari sempurna. Perbaikan pasti dilakukan secara sinambung, tapi mengabaikan fakta bahwa program ini dijalankan dengan ketergesaan tidak akan membuahkan hasil yang optimal. Oleh karenanya, pemerintah sewajarnya membuat piloting DLP secara terstruktur untuk menghasilkan preliminary evidence yang memperkuat basis pentingnya DLP. Piloting ini akan menjadi sangat kuat karena sumber daya yang terfokus, metode yang dikembangkan secara terstruktur dan diimplementasikan dengan baik, dan membuahkan lesson learned yang kuat untuk scaling up ke institusi lain secara sinambung. Monitoring dan evaluasi perlu dilakukan secara ketat dalam kerangka implementation research –dan tuntutan dari kalangan profesi dan independen tetap dibutuhkan untuk menajamkan luaran yang dihasilkan. Jumping, bahkan dengan keinginan segera membuka prodi DLP di FK terakreditasi B, tidak akan membuahkan hasil optimal dalam kerangka transisi jangka panjang.

 

Masa transisional ini juga harus dipahami oleh IDI sebagai niat memperbaiki layanan kesehatan secara sinambung. Sebagai pihak yang selama ini berseberangan, IDI juga harus mampu mengubah posisinya dari oposisi mutlak menjadi counterpart diskusi yang saling menajamkan. Bukan lagi respons emosional yang diharapkan muncul, tapi kritik ilmiah yang terukur. Kekhawatiran yang selama ini muncul sebenarnya sudah satu per satu diredakan dengan penjelasan –yang menunjukkan pula bahwa ada upaya pemerintah untuk menambal kekurangan. IDI kemudian sepatutnya menyediakan ruang yang cukup bagi pemerintah dan fakultas kedokteran untuk mempersiapkan, juga membuktikan, DLP dengan baik.

 

Dua hal besar dalam pergolakan ini yang harus ditekan: ketergesa-gesaan dan kekhawatiran terhadap perubahan. Perubahan tidak dapat disangkal sebagai sebuah keniscayaan pada zaman yang melaju begitu cepat. Namun, keterburu-buruan untuk berubah hanya akan mengosongkan hasil. Ketakutan dan kekhawatiran kita pada perubahan, di sisi yang lain, juga tidak akan membuat kita beranjak dari manapun. Jumud.

 

Rotterdam, November 2016

[i] Ada kemungkinan perbedaan hasil bila dilakukan dengan metoda yang berbeda

Gambar diambil dari: http://honoryourhealth.net/find-the-best-primary-care-service-for-your-better-health/

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan