/

Terbukti Manusia

5 mins read

Beberapa kali pasien saya datang ke meja praktik dengan janji pertobatan, termasuk seorang bapak lewat paruh baya dengan barrel chest (dada menyerupai bentuk tong). Napasnya sering terengah-engah. Sesak, katanya. Rutinitas merokok sudah dijalaninya sejak remaja sampai menemukan titik baliknya setelah puluhan tahun. “Saya sudah tidak merokok,” akunya. Kapok. Setelah saya wawancara, saya mendengar bising parunya. Ramai, memang. Wheezing dan rhonki[1] bersahut-sahutan. Adegan setelahnya sudah dapat diduga, gabungan antara penyesalan dan harapan yang dititipkan kepada dokternya.

Saya lantas teringat masa kanak-kanak. Tidak berhenti bermain api sampai ada yang terbakar, meski sudah diingatkan. Terus bermain pedang-pedangan sampai ada yang terluka dan menangis, meski sudah sedari awal dilarang. Pengalaman itu ternyata berlanjut; tidak berhenti di masa kanak-kanak. Sudah terlalu banyak bukti ilmiah tentang risiko merokok, tapi tetap saja banyak yang merokok. Tidak peduli sebesar apapun peringatannya di bungkus rokok atau seberapa tinggi cukai yang dikenakan. Sudah tak terhitung jumlah kecelakaan kerja, tapi masih banyak pekerja yang tidak taat aturan keselamatan kerja. Saat sakit dan celaka sudah datang, barulah penyesalan menyeruak belakangan.

Manusia seringkali membutuhkan bukti sebelum benar-benar yakin. Butuh sakit sebelum yakin untuk meninggalkan kebiasaan buruk. Butuh nilai buruk untuk yakin belajar lebih giat. Butuh kehilangan sebelum yakin untuk menjaga apapun yang (ternyata) dicintainya dengan sungguh-sungguh. Bahkan, untuk keimanan sekalipun. Mereka yang tak juga yakin dengan kehidupan setelah kematian barangkali butuh kematian itu sendiri sampai akhirnya mereka melirih, “Yaa waylanaa,” Duhai celakalah kami.[2] Padahal, Allah sudah mengingatkannya; tidak sekali-dua kali, tapi berkali-kali dalam pedomanNya yang mu’jiz itu.

Tidak ada yang keliru dengan bukti. Toh, para ilmuwan butuh bukti efikasi dan efek samping obat sebelum memproduksinya besar-besaran. Mereka yang tak mencari bukti justru memilih potensi hilang arah dalam langkahnya. Tapi, bukti tidak melulu perlu ditemukan dengan tangan atau mata kepala sendiri. Ada pengalaman orang lain yang bisa diambil, bahkan para pemasak pemula mencontek tata cara penyajian makanan di kumpulan resep. Jika khawatir pada subyektivitas, ada guidelines yang dibuat dengan seobyektif mungkin. Ada tata cara penggunaan dalam setiap kemasan sebelum menggunakan produk yang baru dibeli.

Ketika ada pasien yang dengan penuh kegairahan menceritakan bagaimana ia mencoba resep pengobatan yang didapatkan dari testimoni kenalannya meski belum terbukti, saya terkagum-kagum. Pasien ternyata bisa dengan mudah meyakini testimoni orang, seperti mereka juga bisa dengan mudah menuruti perkataan dokternya. Tapi, tidak sedikit pasien yang nakal dan melanggar segenap bukti yang sebenarnya dengan mudah didapat. Saya lantas mencurigai bahwa manusia tidak sekadar butuh keyakinan untuk berubah, tapi ia juga butuh ketenteraman dalam perubahan itu sendiri.

Ada kisah Ibrahim as. yang serta merta saya ingat setiap kali menghadapi pasien seperti ini. Namrudz tidak kekurangan keyakinan ketika Ibrahim menantangnya, “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat!”[3] Namrudz dan pengikutnya menyadari sepenuhnya bahwa sang raja bukanlah Tuhan, tapi ia menolak bukti itu. Mereka tidak tenteram dalam menerima bukti, seperti sekumpulan kafir Quraisy yang menolak Islam walaupun mereka tahu bahwa Allah-lah yang ngatur segala urusannya.[4] Bahkan, Ibrahim sekalipun butuh ketenteraman itu ketika ia meminta Allah untuk membuktikan bagaimana caraNya menghidupkan dan mematikan. Ibrahim bukan tak beriman, tapi ia berharap ketenteraman. “Sekali-kali tidak, akan tetapi agar hatiku tenteram,” jawabnya. Liyathmainna qalby.[5]

Pasien-pasien saya yang sudah bertobat itu barangkali juga telah menemukan ketenteramannya sendiri dalam penyakitnya. Ketenteraman yang membulatkan penuh keyakinannya untuk berubah. Kepada mereka saya berujar, “Lain kali tidak perlu merusak diri sendiri untuk tahu nikmatnya sehat.” Saya tahu mereka perih menerima kenyataan. Saya mengerti betapa gundahnya bergumul dalam kesakitan. Dan saya tak bisa membayangkan betapa sakitnya penyesalan akhirat ketika semua bukti dan pedoman yang diberikan Allah masih juga dilanggar. Jika pasien yang sakit itu merutuk perilaku buruknya di masa lalu, saya tak tahu bukti apa lagi yang cukup untuk segera berubah agar tak ada teriakan “Ya waylanaa” dari mulut sendiri di akhirat nanti.

Rotterdam, April 2013


[1] Wheezing (mengi) dan rhonki (suara kasar berderak) adalah istilah kedokteran untuk bunyi abnormal pada pemeriksaan paru.

[2] Lihat QS Al Anbiyaa: 97.

[3] Lihat QS Al Baqarah: 258.

[4] Lihat QS Yunus: 31.

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

0 Comments

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan