Semenjak COVID-19 menyebar hampir ke seluruh penjuru dunia, banyak negara mengambil langkah cepat untuk menghambat transmisi penyakit dengan membatasi mobilitas manusia. Salah satu yang kerap dilakukan adalah menutup sekolah – dan anak-anak menjadi populasi terdampak karena strategi ini. Tujuan awalnya sebenarnya jelas: transmisi diperlambat dan beban layanan kesehatan ditahan agar tidak katastrofik.[1]
Ada sekitar 138 negara di dunia yang memutuskan menutup sekolah selama masa pandemi ini, termasuk Indonesia. Lebih dari 1 milyar anak di dunia tidak bersekolah karena sekolah ditutup secara penuh, dan sekitar 50 juta anak belajar secara parsial dari rumah.[2] (Gambar 1)
Namun, setelah beberapa bulan masa pandemi ini berjalan, perbedaan strategi antar negara mulai nampak. Ada negara yang berani membuka kembali aktivitas sekolah bagi anak-anak, ada negara yang masih khawatir dan memilih menutup hingga akhir tahun 2020, ada pula negara yang memutuskan menutup hingga vaksin telah ditemukan dan didistribusikan. Indonesia sendiri, melalui keputusan bersama beberapa kementerian, memilih untuk tetap melangsungkan pembelajaran jarak jauh sambil membuka peluang pembelajaran dengan tatap muka fisik secara bertahap berdasarkan zonasi epidemiologi COVID-19.
Mengapa strategi yang diambil berbeda-beda? Ada perdebatan saintifik yang bermunculan di belakangnya untuk menjawab hal tersebut – dan perdebatan itu diyakini akan terus berlangsung hingga setidaknya akhir tahun ini.
Namun, di balik segala perdebatan itu, sesungguhnya ada krisis sosial yang mengintai.
Pertama adalah potensi pelandaian kurva pembelajaran (learning curve) anak usia sekolah.[3] Ketika sekolah ditutup, sebaik apapun usaha untuk melakukan pembelajaran jarak jauh, hasil yang dapat dicapai tidak akan seoptimal pembelajaran konvensional. Akan ada keterlambatan pencapaian belajar anak-anak usia sekolah. Jika itu terjadi di semua kelompok anak usia sekolah secara merata, maka perlambatan proses pembelajaran terjadi pula di semua kelompok. Gambaran sederhananya, kurva pembelajaran anak-anak usia sekolah akan bergeser ke kiri (Lihat Gambar 2: Kurva B).
Namun, situasi ini jarang sekali terjadi, termasuk di Indonesia. Kita tidak dapat menafikan bahwa akses terhadap pembelajaran jarak jauh tidak merata antar kelompok ekonomi masyarakat. Anak-anak usia sekolah dari keluarga mampu dapat dengan mudah mengakses internet dan gadget. Mereka dibekali laptop, telepon seluler, dan data akses internet yang memudahkan mereka terus mendorong upaya pembelajaran seoptimal mungkin di saat pandemi. Tetapi, ada anak-anak usia sekolah yang hidup dalam keterbatasan. Jangankan pulsa internet dan televisi kabel. Untuk dapat bertatap muka lewat aplikasi Zoom saja mereka harus memutar otak karena tidak tidak memiliki gadget yang memadai.
Pada situasi ini akan ada potensi krisis sosial kedua: kesenjangan akses dan kesenjangan capaian pembelajaran antara yang kaya dan miskin.[4][5] Yang kaya akan dapat dengan mudah mengejar, tidak merasa terimbas, bahkan merasa santai dan nyaman dengan kondisi yang ada. Namun, mereka yang berada di keluarga miskin akan semakin jauh tertinggal di belakang. Kurva C menggambarkan situasi tersebut. Ada pelandaian kurva yang signifikan. Siapa yang paling terimbas? Anak-anak usia sekolah dari kelompok tidak mampu.
Mereka akan tertinggal. Ketika sistem meritokrasi didengungkan, mereka menjadi kelompok yang semakin rentan tertinggal: sulit mendapat kesempatan untuk bersaing dan meraih penghidupan yang lebih layak. Inilah potensi krisis sosial ketiga. Mereka berpotensi terjebak terus menerus dalam lingkar kemiskinan karena pekerjaan yang dapat mereka rengkuh sebatas apa yang mereka bisa upayakan dari daya kognitifnya yang tertinggal dibandingkan anak-anak usia sekolah dari golongan mampu. Bahkan, boleh jadi, merekalah yang akan menghuni kolam pengangguran dalam sensus penduduk di masa-masa mendatang.
Jika penutupan sekolah berlangsung lebih panjang lagi, potensi lebih buruk mungkin saja terjadi: angka putus sekolah meningkat. Dari sisi demand, COVID-19 menyebabkan ekonomi melambat, penghasilan menyurut, dan anak-anak dari keluarga tak mampu mungkin saja terpaksa diberdayakan untuk membantu mengerek kapasitas finansial keluarganya. Dari sisi suplai, sekolah-sekolah swasta skala kecil yang bergantung pada biaya iuran sekolah anak-anak yang ala kadarnya akan mulai kelimpungan untuk menggaji guru dan karyawannya. Beruntung jika mereka tak memutus kerja karyawannya. Tetapi, pengalaman krisis ekonomi 1998 menunjukkan fakta pahit: banyak sekolah tutup, dan anak-anak sekolah yang bergantung pada sekolah semacam itu ikut putus sekolah.[6]
Kurva D memperlihatkan gambaran tersebut. Jumlah anak-anak dari kelompok miskin dengan keterbatasan capaian pembelajaran akan meningkat pesat, sedangkan anak-anak dari kelompok masyarakat mampu tetap melaju dengan sumberdaya yang masih tersedia. Kesenjangan makin melebar secara ekstrem.
Situasi ini tidak sekadar mempertimbangkan mereka yang kaya dan miskin saja, tetapi disparitas antar daerah dengan tingkat kesediaan infrastruktur yang begitu bervariasi. Ada daerah yang begitu diuntungkan dengan mekanisme pembelajaran jarak jauh karena dibekali jaringan internet yang baik. Ada daerah yang – jangankan sinyal internet – sinyal telepon pun masih sulit ditangkap. Jangan bertanya jaringan TV kabel pada mereka, karena mendapat akses sinyal data dari telepon seluler canggih pun mereka kesulitan. Dan, itu bukan hanya terjadi nun jauh di luar pulau Jawa. Di daerah-daerah kecil pulau Jawa pun, anak-anak usia sekolah sangat mungkin mengalami kesulitan mengakses pembelajaran jarak jauh.
Apa dampak instannya? Sekolah, guru dan orangtua siswa akan mencari alternatif pola pembelajaran yang mereka mampu upayakan dalam segala keterbatasan. Lewat daftar belajar yang dikirim via whatsapp, misalnya. Tanpa interaksi, minim umpan balik. Apa yang terjadi selanjutnya? Capaian afeksi, mental, dan sosial mereka terhambat. Padahal, proses pembelajaran yang selalu didengung-dengungkan adalah proses yang bukan sekadar mencapai kemewahan kognitif semata, tetapi menumbuhkan ruang afeksi dan sosial yang memungkinkan anak-anak berkembang secara paripurna.
Penutupan sekolah dan pembatasan sosial berskala besar juga seringkali menempatkan anak-anak dalam sudut yang melanggar fitrah dan kecenderungan mereka yang senang bermain dan bersosialisasi. Tetapi, pergerakan mereka terhambat karena orang-orang dewasa mempersepsikan mereka sebagai kelompok rentan sehingga harus diproteksi secara maksimal.
Apa yang menjadi potensi masalah jangka panjangnya yang dapat menjadi krisis sosial keempat? Gangguan mental dan emosional.
Tanpa pandemi sekalipun, sekitar 10-20% anak-anak dan remaja di dunia mengalami gangguan mental.[7] Pada situasi pandemi, tekanan meningkat. Situasi ekonomi memburuk, kondisi finansial rumah tangga ambruk. Kecemasan meningkat – bahkan mungkin afeksi dan kasih sayang antar anggota keluarga tereduksi dan meningkatkan tekanan dan kecemasan tersendiri di dalam keluarga, termasuk pada anak-anak usia sekolah.[8] Tekanan semacam ini bukan hanya akan mengganggu proses pembelajaran anak-anak usia sekolah, tetapi juga berpotensi mengganggu perkembangan diri mereka di masa depan.[9]
Potensi krisis sosial yang terakhir adalah konsekuensi lanjutan dalam kehidupan rumah tangga. Karena sekolah masih tutup, banyak orangtua yang tidak dapat bekerja karena harus menunggu anak-anak mereka di rumah, atau memberanikan diri membawa serta anak-anaknya ke lingkungan pekerjaan orangtuanya. Jika orang tua mereka adalah petugas kesehatan, dan tidak dapat bekerja karena anak-anak mereka tidak dapat dititipkan ke penitipan anak atau dilepas bersekolah, ada efek negatif yang harus ditanggung dalam ketersediaan layanan kesehatan.[10]
Situasi masyarakat Indonesia barangkali berbeda dengan negara lain karena anak dapat dititipkan kepada kakeknya, neneknya, atau karib kerabat terdekatnya. Persoalan lain dapat muncul lagi jika anak dititipkan kepada kakek-neneknya karena populasi lanjut usia memiliki risiko yang lebih besar tertular dan bergejala berat. Ini pula yang sempat terjadi di Italia pada pekan-pekan awal penutupan sekolah – namun, aktivitas pekerjaan kantoran belum ditutup.
Di balik semua potensi krisis sosial ini, kerangka model ilmiah menunjukkan bahwa penutupan sekolah diyakini hanya mampu mencegah 2-4% potensi kematian.[11],[12] Angka yang jauh lebih kecil dibandingkan upaya intervensi penjagaan jarak sosial dan fisik lainnya, seperti isolasi kasus, karantina di rumah, dan gabungan antara isolasi, karantina, dan penjagaan jarak sosial bagi lansia. (Lihat Gambar 3).
Jadi, perlukah kita tetap menutup sekolah? Atau, jangan-jangan ongkos sosial, ekonomi, bahkan kesehatannya jauh lebih besar daripada yang semula diperkirakan?
Tunggu tulisan berikutnya!
Ahmad Fuady
Rotterdam 1441
[1] Lancker WP, parolin Z. COVID-19, school closures, and child poverty: a social crisis in the making. Lancet Public Health. 2020 May;5(5):e243-e244.
[2] World Bank Education and COVID-19. https://www.worldbank.org/en/data/interactive/2020/03/24/world-bank-education-and-covid-19
[3] World Bank. We should avoid flattening the curve in education – Possible scenarios for learning loss during the school lockdowns. 2020.Tersedia di: https://blogs.worldbank.org/education/we-should-avoid-flattening-curve-education-possible-scenarios-learning-loss-during-school?CID=WBW_AL_BlogNotification_EN_EXT). Diakses pada 30 Mei 2020.
[4] Armjtage R, Nellums RB. Considering inequalities in the school closure response to COVID-19. Lancet Glob Health. 2020 May
[5] Esposito S, Principi N. School Closure During the Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) Pandemic: An Effective Intervention at the Global Level? JAMA Pediatr. Published online May 13, 2020. doi:10.1001/jamapediatrics.2020.1892.
[6] Cameron L. Can a public scholarship program successfully reduce school drop-outs in a time of economic crisis? Evidence from Indonesia. Economics of Education Review. 2009; 28:3.
[7] Kieling C, Baker-Henningham H, Belfer M, et al. Child and adolescent mental health worldwide: evidence for action. Lancet. 2011;378(9801):1515‐1525. doi:10.1016/S0140-6736(11)60827-1
[8] World Health Organization and Calouste Gulbenkian Foundation. Social determinants of mental health. Geneva: World Health Organization. 2014.
[9] National Scientific Council on the Developing Child. Excessive Stress Disrupts the Architecture of the Developing Brain: Working Paper 3. Updated Edition. 2014. Tersedia di: http://www.developingchild.harvard.edu. Diakses 30 Mei 2020.
[10] Bayham J, Fenichel EP. Impact of school closures for COVID-19 on the US health-care workforce and net mortality: a modelling study. Lancet Public Health. 2020;5(5):e271-e278. doi:10.1016/S2468-2667(20)30082-7
[11] Viner RM, et al. School closure and management practices during coronavirus outbreaks including COVID-19: a rapid systematic review. The Lancet Child & Adolescent Health, Volume 4, Issue 5, 397 – 404.
[12] Ferguson NM, et al. Report 9: impact of non-pharmaceutical interventions (NPIs) to reduce COVID-19 mortality and healthcare demand. Imperial College. London: 2020.
Gambar fitur diambil dari: https://theconversation.com/kesenjangan-akses-internet-di-asia-tenggara-jadi-tantangan-bagi-pengajaran-online-akibat-pandemi-covid-19-133928 (Gambar mungkin memiliki hak cipta)