//

Haram yang Tak Haram

11 mins read

Hijrah – dalam bentuk fisik maupun ruhani – selalu melimpahkan konsekuensi yang harus ditanggung. Kadang sendiri, kadang berjamaah. Kadang berupa penyingkiran sosial, kadang berbentuk alienasi politik, kadang pula serupa embargo ekonomi. Dalam kadarnya yang beragam dan intensitas yang bervariasi.

Begitu pula yang dialami Muhammad ﷺ dan para sahabat ketika mereka menjejak kaki di Madinah. Ada beban eknomi yang harus dipanggul bersama. Orang-orang Muhajirin dari Mekkah memang memiliki intuisi dagang yang hebat, tetapi Madinah bukanlah kota niaga. Madinah terhampar luas sebagai ladang tani yang gembur – yang sayangnya, keahlian Bertani itu tak dimiliki orang-orang Mekkah yang berhijrah. Duduk di Madinah sambil menunggu belas kasih orang-orang Anshar – betapapun relanya mereka untuk berbagi hajat – bukanlah pilihan yang bijak.

Muhammad ﷺ memutar otak. Harus ada sumber penghasilan independen yang memastikan perut orang-orang Muhajirin tetap terisi, kepalanya tetap tenang, dan nafsu buruknya selalu teredam. Harta mereka telah banyak terenggut dan diakuisisi secara sepihak oleh orang-orang Quraisy di Mekkah. Properti mereka berpindah secara mutlak tanpa ada peluang kasasi untuk merebutnya lewat cara normal apapun. Ini jelas kondisi yang sangat menggelisahkan, terlebih ketika perbekalan semakin menipis dari hari ke hari dan harapan menggantungkan diri kepada orang lain bukanlah pilihan yang mulia.

Maka, Muhammad mengirim serombongan orang untuk berangkat melakukan ekspedisi ke arah Mekkah untuk mencari jalan mendapatkan hak mereka kembali dari harta yang dirampas orang-orang Quraisy di Mekkah. Ia menunjuk Abdullah bin Jahsy sebagai pimpinan rombongan kecil itu, lantas membekalinya dengan sepucuk surat yang tak boleh dibuka, kecuali setelah melampaui dua hari perjalanan. “Kalau sudah kau baca surat ini,” pesan Muhammad ﷺ dalam surat itu ketika Abdullah bin Jahsy membukanya, “teruskan perjalananmu ke Nakhla.” Muhammad ﷺ menunjuk satu daerah antara Mekkah dan Thaif. “Awasi keadaan mereka, dan beritahukanlah kepada kami,” tulisnya. Pesan Muhammad ﷺ dibacakan ke seluruh rombongan tanpa ada satu kata pun yang dikorupsi. Tak ada paksaan dalam imbauan itu. Siapa yang berkenan ikut, maka langkah kakinya harus dipacu lebih jauh lagi. Hampir semua bersepakat, kecuali Sa’ad bin Abi Waqqash dan ‘Utbah bin Ghazwan yang memilih untuk terlebih dahulu mencari unta mereka yang hilang tersesat. Sayangnya, mereka lalu terkena sergapan orang Quraisy. Mereka ditangkap, ditawan, dan dibawa masuk ke Mekkah.

Rombongan tetap melanjutkan perjalanan sesuai instruksi Muhammad ﷺ. Mereka bergegas ke Nakhla dan melihat serombongan kafilah dagang Quraisy yang berhenti di sana. Melihat kafilah Quraisy, ada kegeraman yang terbit dan tak bisa ditahan. Ada kesumat yang membuncah ketika mengingat betapa zalimnya Quraisy terhadap mereka selama di Mekkah hingga berani pula mengalihkuasakan harta Muhajirin di Mekkah selepas mereka hijrah ke Madinah. Ada keinginan untuk membalaskan semua luka dan pedih. Tetapi, jelas, itu bukan hal yang diperintahkan Muhammad ﷺ kepada rombongan ini. Muhammad ﷺ tak sekalipun menganjurkan pertempuran. Lagipula, mereka tak pernah disiapkan untuk melakukan peperangan, juga tak dilatih menyusun strategi menyerang dan bertahan. Orang-orang Muhajirin sudah lama meninggalkan kebiasaan mereka nomaden dan berperang. Mereka banyak larut dalam perdagangan yang sibuk di Mekkah. Orang-orang Anshar dari Auz dan Khazraj barangkali terlatih berperang setelah sekian lama berseteru sebelum datang Muhammad ﷺ ke Madinah, tetapi rombongan ini tak satupun yang berasal dari kedua suku itu. Muhammad ﷺ hanya menginstruksikan satu hal: awasi gerak-gerik mereka dan sampaikan kabar itu ke Madinah.

Malam hari itu masih berada dalam hitungan bulan Rajab – satu dari empat bulan mulia yang diharamkan melakukan penyerangan dan menumpahkan darah di dalamnya. “Kalau kita biarkan mereka begitu saja malam ini,” kata Abdullah memulai diskusi dengan rombongannya, “Mereka akan sampai di Mekkah dengan bersenang-senang.” Tetapi, jika mereka menyerang kafilah dagang tersebut, mereka melakukan hal terlarang dan haram karena tak boleh ada penyerangan, apalagi pertempuran penuh darah, di bulan Haram manapun.

Abdullah bin Jahsy ragu bukan kepalang. Di hadapannya ada kesempatan yang begitu sempurna untuk dilewatkan, tetapi juga ancaman yang luar biasa bagi masa depan personalnya dan orang-orang Islam di Madinah. Sesekali ia maju, berikutnya ia mundur. Keberanian dan rasa was-was bercampur aduk begitu saja. Tetapi, rasa sakit di masa lalu telah menjadi sumbu yang membakar keberanian untuk melanggar batas perjanjian. Mereka kemudian mengambil apa saja yang dapat digunakan untuk menyerang – yang semula dipersiapkan untuk sekadar bertahan jika ada yang menggempur.

Salah satu lelaki dalam rombongan itu mengambil anak panahnya. Dari balik punggungnya, anak panah itu berpindah ke busur, lalu melesat dan menerjang tubuh Amr bin al Hadhrami – sang pemimpin kafilah dagang Quraisy. Itulah darah pertama yang tumpah dalam sejarah Islam. Kafilah dagang sontak limbung. Mereka tak tahu bagaimana dapat berlindung dari serangan yang tiba-tiba. Tak ada arah jelas yang dituju. Dua dari mereka kemudian tertangkap, ditawan, dan dibawa ke Madinah.

Abdullah bin Jahsy bermaksud menemui Muhammad ﷺ sekembalinya dari Nakhla, tetapi ditolak. Ia dianggap telah mengkhianati tujuan eskpedisi dengan melakukan penyerangan di bulan Haram. Abdullah tersudut. Para sahabat di Madinah ikut menyalahkan, apalagi Quraisy di Mekkah. Isu pengkhianatan telah disebarluaskan. Para buzzer berkeliaran ke segenap penjuru Mekkah untuk mengobarkan perlawanan kepada Muhammad ﷺ. Di tengah keterpurukan akibat diserang, orang-orang Quraisy mendadak bergembira karena mendapat amunisi baru untuk menyerang, menghimpit, dan menyusun rencana kelaliman-kelaliman baru.

Apa lagi yang bisa diharapkan Abdullah bin Jahsy kala itu? Ia sedih tak terkira. Pilihan ijtihadnya dianggap keliru. Keharaman bertempur di bulan Haram seolah menjadi keputusan mutlak yang tak bisa digugat meski keharamannya pada saat itu banyak dilatarbelakangi oleh sistem sosial politik, tradisi, kepentingan ekonomi ketimbang urusan ketuhanan. Zulqa’dah hingga Muharram adalah periode orang-orang berziarah ‘haji’ dengan mengunjungi Ka’bah yang disesaki berhala, sedangkan rajab adalah periode emas ‘umrah’ bagi mereka. Ada kepentingan ekonomi yang begitu besar dalam bulan-bulan itu sehingga secara tradisi disepakati tak boleh ada peperangan di dalamnya. Perang di periode itu hanya akan merusak tatanan ekonomi, menghancurkan stabilitas lumbung dapur, dan memangsa bangsa sendiri dengan kerepotan yang kelak harus ditanggung anak-cucu mereka.

Tetapi, Allah justru hadir untuk membebaskan rasa bersalah Abdullah, juga untuk meluruskan keyakinan Muhammad ﷺ dan orang-orang Islam yang bersamanya. Saat itulah turun ayat,

Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah, “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram, dan mengusir penduduknya dari sekitarnya lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh.”

Muhammad ﷺ dan para sahabat merasa lega. Bukan hanya karena tindakan mereka mendapat justifikasi, tetapi karena ada batas baru yang ditetapkan Allah sebagai marka keharaman dan kehalalan. Kita seringkali terpaku pada batas-batas haram yang sebegitu teknisnya, bahkan mungkin hanya pada hal-hal yang dianggap terlarang dan tabu oleh budaya, adat, dan keyakinan-keyakinan yang tak berdasar. Kita takut berdosa melakukan hal yang tak punya dasar syariat yang kuat. Kita khawatir melanggar ketentuan karena mendengar dalil-dalil yang berseliweran tanpa kompetensi ilmu yang kokoh. Kita lantas menyebarkan kekhawatiran dan ketakutan itu, menyudutkan orang lain serupa Abdullah bin Jahsy yang terpuruk karena dipersalahkan, bahkan lebih buruk dari itu. Kita memperdebatkan apakah darah nyamuk yang kita tepuk selagi shalat membatalkan shalat kita itu sendiri. Tetapi, kita seringkali mengabaikan obrolan-obrolan kita yang sepenuhnya adalah aktivitas memakan bangkai saudara sendiri yang diharamkan. Kita sibuk menyalah-nyalahkan orang yang kita pandang tengah menyalahi syariat, padahal tajamnya lidah kita sendiri lah yang semakin menjauhkan mereka dari jalan Islam yang kita yakini.

Peristiwa ini meletakkan Islam pada persimpangan jalan pandang politik. Ada yang haram, tetapi tidak lantas diharamkan. Hukum bergerak sangat dinamis. Kita seolah ditarik kembali ke muasal hukum – pada apa dia dipijak, untuk apa dia ditegakkan. Islam, pada mulanya, selalu mengajarkan keadilan sehingga kelaliman dalam bentuk apapun harus dilawan. Islam membawa pesan kedamaian sehingga pengusiran dari tanah air, penjajahan, sabotase, dan perisakan adalah hal yang mutlak harus dimusnahkan. Islam menyerukan kebaikan dan keindahan sehingga setiap keburukan yang dipertontonkan di ruang publik dan kejahatan yang diduplikasikan di muka umum adalah objek yang pantas untuk diberantas. Islam menyadarkan hak dan nilai-nilai kemanusiaan sehingga setiap kekejian fitnah dan segala upaya yang merobek nilai-nilai humanis dan ketuhanan adalah sasaran utama dari jalan-jalan kebaikan yang ditempuh.

Semua nilai bercampur baur di sepanjang zaman. Yang baik dan yang buruk kerap berbolak balik. Kita juga seringkali kehilangan substansi dan merepotkan diri dengan hal-hal kecil yang menghabiskan waktu, tenaga, bahkan pahala dan kebaikan kita yang semestinya ditabung untuk akhirat kelak. Siapakah Muhammad ﷺ jika bukan Allah di balik bimbingan skenario setiap langkahnya? Apalah lagi kita, yang kian hari kian merasa menjadi perwakilan Allah untuk menebarkan kebenaran, tetapi derap kakinya justru melanglang buana menjauh dari nilai ketuhanan dan jalan kenabian yang sesungguhnya. Kita seolah melaju mendekati Allah, tetapi dayung justru terkayuh untuk menjauh.

Rotterdam, Rabiul Awwal 1441

Gambar fitur diambil dari: https://halal.unair.ac.id/2018/10/25/belajar-dari-sejarah-pasar-arab-2/

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan