/

Iuran BPJS Naik, Setuju? (Bagian-1)

Defisit dana jaminan sosial kesehatan yang diprediksi mencapai 28 triliun rupiah mendorong pemerintah untuk menaikkan iuran peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Kenaikan iuran dipatok sebesar 100 persen bagi peserta mandiri kelas I dan II. Setujukah?

3 mins read
3

Kenaikan iuran BPJS bagi peserta mandiri ini memang menuai kontroversi. Bagi sebagian masyarakat, kebijakan ini memberatkan dan tidak empatik. Tapi, dari sisi pemerintah, kenaikan iuran adalah langkah logis untuk menyelamatkan program jaminan kesehatan nasional (JKN). Apakah kenaikan iuran serta merta menyelesaikan karut marut jaminan sosial kesehatan Indonesia? Jelas, tidak. Tapi, mari kita coba selidiki baik-baik.

Pertama, masyarakat perlu menyadari dengan baik bahwa iuran peserta BPJS masih sangat murah. Jauh lebih rendah dibandingkan asuransi kesehatan biasa. Dengan skema asuransi sosial semacam ini, iuran peserta BPJS pun tidak menerapkan penyesuaian risiko (risk adjustment). Iuran bagi semua orang dipukul rata dengan bayaran yang sama, kecuali pilihan kelas I, II dan III. Urusan kategorisasi ‘Kelas’ ini pun kerapkali dipertanyakan, tapi tak akan kita bahas dalam tulisan ini. Lain kali saja. Dengan begitu, orang dengan riwayat serangan jantung, merokok, atau diabetes, sebagai contoh, tetap membayar iuran yang sama dengan mahasiswa yang sehat walafiat.

Adilkah?

Ini persoalan kedua. Dari perspektif konsumen yang membeli iuran sebagai barang konsumsi, ini akan dianggap tidak adil. Tapi, asuransi kesehatan sosial pada prinsipnya adalah memacu kesamarasaan, yang dalam Bahasa undang-undang disebut sebagai prinsip ‘gotong royong’. Dengan menggunakan satu kas (pooling) dan volume mencapai 172 juta peserta, diharapkan ada dilusi risiko dan biaya. Terjadi subsidi silang dari peserta yang berisiko rendah terhadap yang berisiko tinggi dan dari peserta dengan penghasilan tinggi kepada mereka yang berpenghasilan rendah. Dua substansi penting yang harus dicapai dalam mekanisme pooling ini adalah memastikan proteksi finansial dan keadilan atau ekuitas. Di situlah sebetulnya aplikasi prinsip gotong royong.

Mengertikah masyarakat tentang prinsip ini? Bahwa iurannya bukan sekadar tentang membeli layanan kesehatan? Yang setelah dapat mengakses layanan kesehatan, lalu berhenti membayar iuran? Atau baru membayar iuran jika butuh untuk mendapatkan layanan kesehatan? Atau setelah membayar iuran, apapun dilakukan demi mendapatkan layanan kesehatan agar mereka tak merasa rugi, meskipun sekadar mendapatkan ‘vitamin’ dan periksa ini-itu dengan dokter?

Mengapa pertanyaan-pertanyaan ini perlu dilontarkan?

Karena data mengafirmasi kenyataan tersebut. Sekitar 23 persen peserta mandiri baru mendaftarkan diri dalam jaminan kesehatan sosial ketika mereka telah jatuh sakit dan membutuhkan layanan kesehatan. Setelah lepas dari layanan kesehatan, 28 persen peserta mandiri tidak membayar iuran secara rutin. Dua hal ini menyebabkan rasio klaim jaminan kesehatan pada peserta mandiri mencapai 281 persen pada tahun 2016. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan rasio klaim jaminan kesehatan pada peserta PBI yang hanya sekitar 47 persen. Tidak seimbangnya angka ini menarik angka rasio klaim keseluruhan ke titik 114 persen pada tahun 2017.

Jadi? Memang terdapat ketimpangan.

Jadi? Wajar bila harus ada penyesuaian iuran.

Jadi? Saya setuju dengan langkah pemerintah? Nanti dulu. Kita bahas lanjutannya di tulisan berikutnya. Besok!

Salam pengamatan dari Rotterdam,

Ahmad Fuady

Baca serial tulisan lengkapnya:

Bagian-2

Bagian-3

Bagian-4

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan