Saat pertama kali saya ke luar negeri karena mendapat fellowship studi riset, Ayah saya cemas luar biasa. Bukan karena saya tak punya uang, tapi lebih karena Ayah tak pernah melihat saya bicara dengan bahasa Inggris di rumah. Kecemasan itu lantas membuat kesehatannya turun drastis dan saya menemukan satu hal yang baru saya sadari: saya gagal belajar bahasa Inggris.
Nilai bahasa Inggris saya tak pernah kurang dari angka delapan, bahkan nilai ujian akhir SMA saya hampir menyentuh angka sembilan. Tapi, belajar bukan sekadar persoalan angka. Belajar adalah perkara amal –praktik. Peristiwa kecemasan Ayah itu cermin kegagalan pembelajaran saya. Percuma saja belajar dan ujian dengan angka tinggi, tapi tak pernah sedikitpun mempelihatkan jejas pembelajarannya dalam keseharian.
Ayah telah menggedor keresahan saya. Tiba-tiba saya seperti mendapat nasihat yang lebih banyak. Percuma nilaimu bagus, tapi amalmu miskin. Percuma kau mengaji dan paham keutamaan shalat sunnah dan jamaah, tapi langkah kakimu jarang ke masjid. Percuma suaramu bagus melantunkan Al Qur’an, tapi ia tak hadir dalam kesendirianmu. Percuma kau hafal seribu kisah tentang nabi, tapi tak juga bisa singkirkan kebohongan dalam hari-harimu. Percuma kau tahu fadhilah infaq, tapi kantongmu kau kunci dengan kekikiran. Percuma kau hafal ribuan hadits, tapi tontonanmu tak sedikitpun menyisakan ruang bagi Rasul menjadi teladanmu. Percuma kau berdebat tentang apakah bersentuhan dengan lawan jenis membatalkan wudhu-mu, tapi kau tak pernah risih saling bersentuhan ketika tanpa wudhu. Percuma kau menulis jejeran artikel dan kritik ilmiah, tapi kau sendiri tak mampu mengkritik dirimu. Percuma kau melagukan shalawat, rawi dan barzanji, tapi kau tak juga kau bersikap asyidda-u ‘alal kuffar dan ruhamaa-u baynahum. Percuma nilai matematikamu sempurna, tapi kau tak paham bagaimana menggunakan logika. Percuma kau dalami biologi dan kedokteran, tapi tak menambah rasa syukurmu kepada Tuhan. Percuma kau menyebut 10 malaikat di luar kepala, tapi tak pernah merasa hidupmu terawasi. Percuma kau mengangguk-angguk ketika disampaikan kepadamu bahwa pernikahan akan menjagamu dan melancarkan rizkimu, tapi kau lebih suka berlama-lama pacaran. Percuma kau mengerti bahwa Allah yang menciptakan langit dan bumi, yang menghidupkan dan mematikan, yang meluaskan dan menyempitkan rizki, tapi doamu hanya rutinitas dan hafalan, bukan sungguhan. Tapi, shalatmu hanya kelaziman, bukan persembahan. Tapi, dzikirmu hanya berakhir di lisan, bukan penghayatan.
Peristiwa itu begitu membekas, seolah bernasihat dengan jelas: Ayah tak butuh nilai sekolah saya. Ayah hanya butuh saya mengamalkan apa yang saya pahami. Apalagi, Allah.
Rotterdam, Mei 2013
Gambar diambil dari: http://t1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcR5vp6UGi_h7INl4SbaRkz6RmiHHNefHqp1VGccV7YY4Mghya7R