Bukan Imam Tarawih

Saya berkali-kali memendam kecewa karena, meski bertahun-tahun saya tunggu, Ayah tak pernah menjadi imam tarawih di masjid. Bagi saya yang masih kecil waktu itu, menjadi imam tarawih sudah barang tentu menjadi kewajibannya sebagai guru. Tetapi, tidak. Ayah selalu saya dapati ada di baris belakang. Shalat pun paling belakangan. Beberapa kawan saya semasa kecil kemudian mengidentifikasi Ayah sebagai makhluk yang harus ditakuti. “Gua musti hati-hati kalau ada Ayah lu jagain,”kata salah satu dari mereka sambil bergerombol saat pulang tarawih.

3 mins read
Source: https://www.istockphoto.com/

Ayah memang tak pernah ada di depan saat tarawih. Ia ada di belakang, menjaga anak-anak yang seringkali membuat berisik, berlarian, bahkan memasang petasan. Ayah mengambil “pekerjaan kotor” untuk menertibkan mereka. Menyangkutkan selendang surban di pundak yang sesekali dikibaskannya untuk mengusir anak-anak lelaki yang masuk ke tempat anak-anak perempuan. Nakal sekali memang anak-anak. Tetapi saya tidak pernah mendengarnya mengusir anak-anak itu pulang ke rumah mereka. “Sholat, sholat!” Sempat saya dengar teriaknya begitu waktu saya harus mengambil wudhu lagi karena batal. Saya tentu tak pernah berani melakukannya. Bahkan, untuk shalat di baris belakang saja saya tidak punya nyali. Ayah selalu mewanti-wanti bahwa anaknya haruslah berdiri di baris terdepan. Jika setiap shalat Jumat saya duduk di depan mimbar khatib bersama Ayah, maka setiap tarawih saya memilih tempat agak ke pinggir, bersebelahan dengan Kiai Thabrani Thahir di tiang sebelah utara.

Sampai saya dewasa, Ayah tak pernah menjadi imam tarawih. Tapi, saya memahami kebiasaannya menjelang maghrib. Keluar rumah setengah jam sebelum bedug, bertadarus di masjid, dan memimpin buka puasa bersama di masjid. Sesekali Ayah bertanya ke Mami adakah yang bisa dibawanya ke masjid untuk menu berbuka. Tak banyak yang dimakannya, kemudian ia berdiri paling awal untuk shalat Sunnah sebelum maghrib. Kadang ia sendiri yang iqamat sebelum ada yang lain terbirit-birit mengejar mikrofon karena malu belum juga beranjak dari berbukanya. Ayah tak pulang lagi, menghabiskan maghrib ke isya dengan tadarus, lalu mempersilakan jamaah mengambil posisi depan ketika adzan isya berkumandang. Ayah? Seperti yang saya bilang, ia ada di barisan belakang.

Begitu terus sampai Ayah akhirnya tak mampu lagi shalat di masjid. Ayah mengubah jadwal, duduk di sofa ruang tamu selepas ashar hingga menjelang maghrib, menyantap ta’jil saat maghrib, lalu bersegera shalat maghrib di kamarnya. Makan malam tetap ditundanya setelah tarawih. Jangankan menjadi imam tarawih, Ayah mengubah posisi shalatnya dengan duduk di sajadah –yang belakangan diganti dengan sajadah yang lebih empuk agar nyaman baginya.

Sekali waktu Ayah memanggil saya untuk shalat tarawih bersama. Ada Ayah, Mami, saya dan istri saya. Birru belum lahir waktu itu. Ayah sudah tak mungkin lagi menjadi imam tarawih, maka saya dimintanya untuk memimpin shalat. Mungkin terlalu panjang bagi Ayah sampai beberapa kali saya dengar Ayah menghela nafas, tapi ia tak berkata apapun. Selepas shalat tarawih, kami berbaring di kasur. Saya merasa seperti anaknya yang masih kecil kembali tidur bersebelahan dengan Ayah di ranjang yang dulu tempat saya tidur bersama Ayah dan Mami semasa kecil. Mata kami menerawang ke atas, tanpa suara, kecuali desah nafasnya yang kadang memburu. Sampai kemudian Ayah menghentikan hening.

Ayah menasihati saya dengan hati-hati, seperti biasa. Tentang basmalah, tentang surat-surat, tentang panjangnya bacaan. Saya tidak membantah. Hanya mendengar. Setelahnya,  tidak ada lagi nasihat ayah tentang tarawih dan shalat. Itulah yang terakhir. Benar-benar yang terakhir. Dan, saya tak akan dapat melupakan Ayah, juga Ramadhan bersamanya.

Rotterdam, Ramadhan 1438

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan