Naskah Pidato Ayah

Ayah jelas bukanlah orator yang handal. Setidaknya, itu yang saya ingat dari setiap kali Ayah naik podium dan berbicara. Tidak ada intonasi yang menggebu-gebu setiap kali berceramah. Datar. Tetapi, kerap berat berisi. Saya tak tahu persis bagaimana gaya pidatonya semasa muda. Mungkin saja berkobar-kobar. Usia barangkali mengubah pembawaannya, atau hanya menegaskan bahwa gayanya yang tak menggebu-gebu itu lebih layak dinikmati.

7 mins read

Tapi, tidak dengan apa yang diajarkan Ayah kepada saya sejak kecil. Saya mulai diplot untuk berceramah oleh Ayah sejak kelas 1 SD. Menjelang perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw, Ayah membujuk saya agar saya tampil berpidato di atas panggung. Ayah yang menuliskan naskahnya, saya berlatih menghafal dan mendeklamasikannya. Ayah yang mengajarkan di mana saya harus meninggikan suara, di mana saya merendahkan. Sesekali mencontohkan, juga mengoreksi lafalan ayat yang keliru saya baca. Setiap hari begitu, sampai saya hafal titik dan komanya. Sampai saya tak rela jika kata “Rasul” terganti “Nabi”, meski setelah dewasa saya menertawai diri sendiri karena tak ada bedanya kedua kata itu merujuk kepada siapa.

Ayah pula yang mendandani saya dengan sorban melilit di kepala sehingga mirip Pangeran Diponegoro atau Imam Bonjol. Saya ingat bahwa ketika itu saya jengah. Bagi saya cukup dengan kopiah biasa. Tapi, Ayah bersikeras dengan sorbannya. “Begini saja, lebih pantas. Bagus kok,” katanya. Kopiah putih bulat saya pun akhirnya berlapis sorban.

Tampilan saya itu sukses, kecuali pada adegan saya lupa harus menyebut kata “Nabi” atau “Rasul” sehingga saya harus membuka contekan dari saku baju. Ya, saya lupa gara-gara kata itu. Blas. Untung kertas yang saya buka langsung pas di tempat di baris yang saya lupa. Benar-benar di baris yang memang saya sering lupa pilihan katanya.

Dan, kontan semua orangtua yang hadir memenuhi lapangan sekolah tertawa. Saya malu. Tapi, Ayah selalu menjadi orang pertama yang menghibur saya; yang mengatakan bahwa penampilan saya bagus sekali. Bagus sekali, bukan bagus saja. Maka, setelah itu Ayah meminta saya tampil pula di acara maulid-maulid yang lain dengan naskah yang sama. Di arisan keluarga, di pertemuan ini dan itu. “Dedy tampil ceramah ya,” begitu bujuknya. Ayah berhasil membuat saya bangkit dari tragedi lupa naskah itu –dan saya tak pernah lupa naskah pidato lagi.

Ayah benar-benar menjadi pembangun kepercayaan diri saya yang pertama. Ia motivator utama bagi saya sejak kecil.

Meski bukan orator, Ayah adalah penulis naskah pidato yang hebat. Setiap kali ada perlombaan pidato dan ceramah antar masjid atau antar sekolah, saya didaftarkan dan disiapkan materi. Tentu dengan pemahaman yang lebih baik. Diajarkannya agar saya tak lagi menghafal kata per kata, namun memahami makna per alinea. Mengenal pokok pikiran.

Saya berceramah di acara muhadharah –semacam pentas seni tahunan di madrasah, acara perpisahan, dan lomba-lomba yang seluruhnya selalu menjadi juara. Bahkan, selepas saya turun berpidato di sebuah lomba semasa saya SMP, salah satu juri memanggil saya dan bertanya, “Siapa yang menuliskan naskahnya?” Saat saya jawab, “Ayah saya,” sang juri meminta naskah itu. Naskahnya bagus sekali, katanya. Juri itu adalah KH Fasyani Hatta –yang kini jam terbang berceramahnya sudah tak berhitung lagi. Dengan naskah itu pula saya diminta menjadi penceramah pembuka maulid di mushalla (dulu belum menjadi masjid) At Thohiri sebelum penceramah utamanya naik podium. Maka sejak di rumah, Ayah sudah tersenyum. Ayah tidak hadir saat saya naik ke podium dan berceramah. Sesampainya saya di rumah pun, Ayah hanya diam, kecuali bilang, “Bagus!”. Seperti biasa. Tidak pernah sedikit pun Ayah meminta pujian bagi naskahnya. Yang bagus selalu saya –deklamator naskah-naskahnya.

Cara Ayah menulis pidato memang di luar kelaziman. Pilihan ayatnya tak biasa. Logika bertuturnya runut. Tak heran ketika saya harus berlomba antar sekolah dengan penilaian yang “lebih akademik”, saya lagi-lagi menjadi juara, meskipun saya tidak bergaya Zainuddin MZ yang saat itu populer ditiru peserta-peserta lain. Soal gaya, Ayah tak pernah memaksa. Asal mengerti di mana harus melakukan penekanan. Hanya sesekali berkomentar, “Masak pidatonya begitu?” Saya pun cengar-cengir.

Pun, ketika saya SMA dan masuk pesantren. Saat diminta menulis naskah pidato oleh guru bahasa Indonesia, lagi-lagi saya dikomentari. Naskahnya bagus, kata guru saya; Pak Hadi. Lantas saya bercerita bahwa saya menyadurnya dari naskah yang Ayah buatkan untuk saya. Selepas itu, saya mulai bisa menulis naskah sendiri, juga dengan gaya ceramah sendiri. Mulai dari bantuan naskah lengkap semacam khutbah Idul Fitri zaman sekarang (yang naskahnya dicetak dan disebar ke mana-mana), menggunakan pointers, atau spontan dengan teknik impromptu. Pak Heri yang memolesnya di pelajaran Bina Dakwah. Bahkan, untuk naskah doa di depan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Pak Heri memercayakan saya menyiapkan sendiri untuk ia review sejenak sebelum naik pentas saat penutupan olimpiade ilmiah nasional. Saya beruntung mendapat bekal yang cukup dari Ayah –dan selalu ingin berterima kasih untuk itu.

Maka, kepada Ayah pulalah saya pertama kali bercerita bahwa semasa studi di Belanda saya menjadi khatib shalat Ied, juga khutbah-khutbah Jumat yang bersilihan. Saya ingin Ayah merasa bangga saat saya menceritakannya sambil menggendong Birru –anak saya yang saat itu baru berusia 9 bulan. Respons Ayah? Hanya diam seperti biasa. Lalu air matanya menggenang. Obrolan Ramadhan selepas kepulangan saya ke Jakarta itu lantas ditutup dengan permintaannya, “Bulan Ramadhan tahun depan, ceramahlah di masjid.” Yang Ayah maksud tentu masjid yang sejarak 200 meter dari rumah.

Saya, juga Mami yang duduk di samping Ayah, menolak dengan halus. Saya bukan lagi kanak-kanak yang perlu ditumbuhkan kepercayaan dirinya. “Jangan meminta untuk ceramah,” kata Mami. “Biar nanti kalaupun diminta, Dedy pasti sudah siap.” Ayah diam, mengalah.

Sayangnya, Ayah tak pernah sempat melihat saya berceramah lagi, mengomentari lagi, setelah Ramadhan itu. Ayah telah berpulang di penghujung tahun. Suatu saat nanti, barangkali saya harus menyusunkan naskah pidato untuk Birru. Mungkin naskah itu tak sebaik naskah-naskah pidato Ayah. Naskah Ayah memang tak mampu saya tandingi. Tapi, biarlah.  Saya hanya perlu belajar mewariskannya kepada anak-anak saya kelak. Mewariskan keinginan yang kuat untuk berda’wah, juga menyisipkan kepercayaan diri di dalamnya.

Semoga Allah membalas kebaikan Ayah dan mengasihinya tanpa terputus.

Syawal 1437

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

0 Comments

  1. سبحان الله….your father is the best one of my first teacher (motivator & inspirator too….:)

  2. Beautiful. Salam hormat untuk ayahanda, TS. Selamat Idul Fitri 1437 H, mohon maaf lahiR dan batin. Taqabbalallahu minna wa minkum.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan