Shalat-shalat pertama saya bersama Ayah adalah serangkai shalat Jum’at yang berturutan tiap pekan. Sayangnya, semakin saya besar, semakin sulit diajaknya ke masjid kala itu, apalagi untuk shalat maghrib dan isya. Perkaranya sepele. Setiap ba’da maghrib selalu ada pengajian anak-anak dan saya tidak merasa nyaman bergabung di dalamnya. Pengajian anak-anak itu dibagi tiga kelompok dengan semacam strata masing-masing. Kelompok A adalah anak-anak yang masih belajar Juz Amma dan masih melancarkan bacaan, Kelompok B adalah anak-anak yang mulai lancar namun belum terampil, sedangkan Kelompok C adalah anak-anak menjelang remaja yang sudah lancar mengaji. Teman-teman sebaya saya ada di Kelompok A. Beberapa kali saya masuk dalam antrean barisan mereka, namun setiap kali Ayah melihat saya berada di situ, dipanggillah saya. Diambilnya tangan saya dan dituntun masuk ke Kelompok C. Duduk tepat di samping guru mengaji kala itu, Alm H Romli Zakaria. Menjadi yang paling kecil di tengah anak-anak sebaya kakak-kakak saya jelas membuat saya rikuh sampai akhirnya saya mundur perlahan. Jarang pergi ke masjid dan selalu mencari-cari alasan –yang paling sering adalah terlambat mandi karena asyik bermain bola sampai adzan maghrib berkumandang.
Tapi, Ayah selalu menjadi Ayah terbaik. Memang, sesekali Ayah marah karena melihat anaknya yang mulai malas ke masjid. Biasanya, menjelang maulid Nabi, Ayah mulai agak memaksa. Alasannya sederhana: setiap kali maulid, anak-anak akan tampil dan diberikan panggung khusus pada perayaan Maulid Nabi Saw. Semua mendapat tugas mulai dari membaca “Ya Rabbi Shalli”, “Inna fatahna”, sampai “Serakal” (sebutan bagi syair Asyraqal Badru ‘Alaiyna), juga memimpin tahlil dan doa. Ayah menuntun saya lagi –meski kali itu tak lagi benar-benar dituntun; hanya diarahkan dan ditunjukkan di mana saya harus duduk dan latihan.
Saya lantas semakin jarang ke masjid semasa SMP. Lulus SMP, saya punya pilihan untuk sekolah di luar madrasah. Awalnya, Ayah menolak jika saya sekolah di sekolah umum hingga akhirnya melunak. Baginya, pendidikan agama adalah keharusan yang mutlak dan tak bisa ditawar. Namun, justru saat Ayah melunak dan mulai mengijinkan, saya yang kehilangan minat. Saya akhirnya memilih sekolah di sebuah bukit yang hampir tak ada yang mengenal namanya saat itu: Al Bayan. Sebuah SMA dengan label Pesantren di sebuah bukit kecil daerah Sukabumi. Hampir sebulan sekali Ayah datang bersama keluarga di tahun-tahun pertama dan pesannya selalu sama, “Pakai peci kalau shalat.” Jikapun ada tambahan, pastilah pertanyaan, “Ngajinya kitab apa di sini?” dan pesan yang selalu malu-malu disebutnya, “Jangan pacaran dulu.” Di situ, saya menemukan kecintaan lagi kepada masjid.
Ayah masih gagah waktu itu. Gagah sekali.
Bahkan, saat saya lulus SMA dan kembali ke Jakarta, Ayah masih tegap berjalan ke masjid setiap maghrib dan subuh. Ayah tak pernah pulang sehabis maghrib, menghabiskan waktunya menunggu isya sambil membaca qur’an sendirian. Ayah tidak mengajar mengaji karena bukan itu keahliannya, tapi ia selalu ada ketika anak-anak mulai berkeliaran tak karuan, berlari-larian dan membuat gaduh masjid.
Saat kuliah, tangan saya tak lagi dituntun –juga tak perlu lagi saya dimarahi hanya karena sulit bangun subuh. Semula, kami bangun berdua; bergiliran siapa yang membuka gembok pintu gerbang dan berjalan bersama setiap subuh. Menjelang akhir masa kuliah saya, ada yang berubah. Langkah Ayah melambat, napasnya mulai tersengal. Setiap kali saya tanyakan mengapa, ia hanya menjawab, “Kaki Ayah nggak kuat.” Saya tahu, maksudnya pasti bukan karena kaki yang pegal, tetapi napas yang tersengal. Ayah tidak bisa mengimbangi langkah saya sehingga saya pun ikut melambat dan akhirnya saya memutuskan untuk membiarkan Ayah berjalan lebih dahulu, sedangkan saya shalat sunnah fajar di rumah. Itu berhasil membuat Ayah lebih nyaman melangkah, tidak merasa diburu-buru.
Semua berjalan mulus sampai kami menemukan titik melemahnya kesehatan Ayah. Saya semakin sering menjumpainya istirahat di tengah jalan; duduk dan mengatur napas sebelum melanjutkan perjalanan ke masjid yang sesungguhnya hanya sejarak 150 meter dari rumah. Begitupun saat pulang ke rumah. Sempat di suatu saat, saya terburu-buru pulang namun tidak mungkin mendahuluinya hingga masuk ke rumah. Setelah masuk pintu rumah, saya langsung berlari dan grasak grusuk mempersiapkan perangkat kuliah. Saya sempat melihat air muka Ayah saat itu –dan merasakan perubahan di esok harinya.
Esoknya, Ayah tidak ikut mushafahah selepas subuh. Beberapa hari kemudian saya perhatikan, Ayah selalu pulang lebih dahulu setelah rangkaian do’a pertama. (Kami memang terbiasa berdoa dalam dua rangkai –satu rangkai do’a panjang dan satu rangkai do’a pendek, yang akhirnya kami hafal sendiri karena seringnya diulang-ulang). Dengan begitu, Ayah sudah berada di setengah jalan pulang saat langkah kami berpapasan. Saya tak perlu terlambat, Ayah tak perlu diburu-buru. Mengingat itu, saya selalu merasa bersalah sekaligus kagum padanya. Saya semakin mengenalnya sebagai Ayah yang selalu mendahulukan kepentingan anaknya –meski jarang sekali ia mengucapkan kata-kata manis atau memeluk saya.
Menjelang kelulusan saya menjadi dokter, langkah Ayah semakin lambat. Ia memutuskan untuk tidak pergi ke masjid saat maghrib, tetapi tetap melanjutkan shalat berjamaah shubuh. Pergi dan pulang, saya menuntunnya. Tidak ada lagi yang perlu disegerakan untuk mencapai rumah. Kami selalu menjadi orang yang pertama keluar masjid dan terakhir mencapai rumah. Rekan-rekan Ayah masih gagah –dan selalu dipersilakannya untuk melaju duluan tanpa menunggunya. “Duluan, duluan… Saya lambat jalannya nih.” Saya masih ingat benar kata-katanya setiap subuh itu.
Entah mengapa saya kangen. Setelah Ayah masuk rumah sakit karena penyakit jantungnya, Ayah mencukupkan diri untuk shalat di rumah. Hanya setiap Jum’at Ayah ke masjid, itu pun didorong dengan kursi roda oleh kaka-kaka saya yang bergiliran mengantarnya. Saya hampir tak pernah kebagian mendorongnya ke masjid –hanya sekali atau dua kali.
Ayah tak lagi menuntun tangan saya, berganti tangannya yang saya tuntun. Setelah menggelar sajadah di kamarnya dan mengantarnya duduk di atasnya sambil bersandar, saya mengimami shalat tarawih bersamanya, juga bersama Mami dan istri saya. Kami berempat. Saya selalu ingat itu. Ya, saya selalu ingat. Karena itulah shalat jamaah kami yang terakhir sebelum Ayah wafat.
Zulqa’dah 1437 H