/

Menerka Masa Depan

4 mins read

Dalam sebuah perjalanan panjang di pesawat, saya mendapat teman refleksi dalam sebuah film Jerman, “24 Wochen“. Film realis yang berkisah tentang komedian ‘stand up’ yang hamil dan mendapati informasi di usia kehamilannya yang ke-24 pekan bahwa janinnya akan dilahirkan dengan Sindroma Down. Awalnya, ia dan suaminya tegar dan memutuskan tetap menjaga kehamilannya hingga persalinan meski aborsi di Jerman dilegalkan dengan alasan tersebut. Bahkan, mereka menyiapkan anak pertamanya agar siap memiliki adik dengan kelainan fisik dan mental.

Sebuah temuan bahwa janinnya akan lahir dengan ruang jantung yang abnormal dan akan hidup dengan beban yang parah membuat segalanya berubah. Konflik bermunculan. Astrid, sang komedian, pada akhirnya memilih mengugurkannya.

Hari ini, pengetahuan dan teknologi memungkinkan kita menerka masa depan. Mengetahui kromosom janin, menilai fisiknya dan memprediksi rupa lahir dan hidupnya di kemudian hari. Beberapa sudah berani menginformasikan masa hidup dan kapan kematian seseorang dari tanda fisik, temuan lab, dan reka statistik. Dengan analisis statistik dan studi yang ajeg, dokter dapat memprediksi kemungkinan mortalitas pasien yang hari ini dioperasi dan masuk ICU. Dengan modeling yang canggih, bahkan, ilmuwan dapat menerawang secara ilmiah apakah target eliminasi tuberkulosis atau leishmaniasis di dunia akan tercapai pada tahun tertentu. Politisi dapat sesumbar dari hasil analisis survey yang valid tentang kemenangan yang mungkin diraihnya dalam pertarungan kepemimpinan.

Masa depan dapat diterawang. Tetapi, bukan itu yang menjadi penting, melainkan sikap terhadap kemungkinan segala hasil di masa depan itu sendiri. Toh, masa depan tidak berdiri sendiri begitu saja. Ada banyak variabel determinan yang mempengaruhi. Utak-atik determinan, sikap terhadap masa depan, itulah yang terpenting.

Sayangnya, masa depan yang kita perkirakan baik membuat kita sering abai pada sikap kita di masa kini. Mahasiswa yang tahu bahwa materi ujian tulisnya mengulang dari materi tahun lalu, atau penguji lisannya terkenal baik dam murah nilai, akan menurunkan tensi belajarnya dan kehilangan fokus tentang makna pembelajaran. Pengemudi yang tahu bahwa area tujuannya tak banyak polisi yang menjaga cenderung abai pada marka dan aturan lalu lintas. Pekerja yang tahu besaran gajinya dan kapan turunnya akan jauh lebih mudah merancang anggaran personalnya, bahkan tanpa selipan doa lagi.

Beda sama sekali jika masa depan yang diprediksi bukanlah yang kita inginkan. Ada kecemasan berlebih, usaha melintasi batas kemampuan, diskusi dan konsultasi bertubi-tubi, juga doa yang memancar deras ke langit. Apakah memang kita hanya membutuhkan terawangan masa depan yang buruk untuk membuat kita menjadi manusia yang paripurna dan lebih dekat kepada Tuhan?

Sayangnya, Tuhan tidak membuka tabir kehidupan masa depan setelah kematian kita. Sedikit saja, dalam riwayat yang sahih, orang yang disebut telah terjamin masuk surga. Selebihnya, kita yang manusia biasa hanya dapat meraba-rasa. Nikmat surga atau siksa neraka.

Tak perlulah lagi studi dan analisis statistik yang njelimet. Tuhan sudah beberkan semua determinan tempatan akhir masa hidup kita. Tinggal di mana kita berdiri, seberapa baik sikap kita dalam mengontrol determinan yang ada. Itulah mengapa Tuhan menyebut bahwa kehidupan dan kematian diciptakanNya “untuk menguji siapa di antara kalian yang paling baik amalnya,” paling baik menyikapi setiap variabel yang menentukan kehidupan masa depannya yang abadi.

Jika yang membuatmu dekat kepada Tuhan adalah rekaan masa depan yang suram, kecemasan terhadap ketidakpastian, maka peliharalah ia dalam kepalamu. Jika tak lagi ada cemas, pastikan hanya satu pengalihnya: bahwa engkau sudah mengerti bahwa hidup ini adalah tentang perayaan syukur dan terima kasih. Seperti para nabi.

Rotterdam, April 2017

:: Film “24 Wochen” ini layak ditonton. Tidak hanya bercerita betapa dilematisnya antara menjaga harapan kelahiran dan meminimalisir keburukan, ia bercerita tentang bagaimana keputusan dalam keluarga inti, keluarga besar, dan karier, juga bagaimana komunikasi antara dokter dan pasien terjalin. ::

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan