Aku belajar menjadi Adam, suatu ketika. Mencari-cari sejarah yang limbung, kemudian aku susupi dengan tawa yang menggelagak. Maka, aku hampiri Iblis dan bertanya, “Bagaimana dulu Adam bisa kau rayu dengan mulus?” Iblis diam sambil terus menggulir-gulirkan tasbihnya yang panjang. Panjang hingga beribu-ribu butir yang sibuk digilir sambil berdzikir. Sambil aku bertanya lagi, “Sejak kapan kau mulai berdzikir, Iblis?” Dia tetap saja diam. Melolong dalam diamnya yang khusyu’.
Atau aku bertanya saja hal yang sama pada Jibril yang semula masih satu barisan bersama Iblis. “Apa yang membuat Iblis mundur dan tak mau mendekatiku lagi?” Yang ditanya hanya menatapku kecewa. “Bukan padaku, seharusnya kau bertanya,” katanya. “Lalu pada siapa?” Dia menunjuk ke arah yang tak mampu aku kira ujungnya.
“Bagaimana aku bisa ke sidratul muntaha? Hanya Muhammad, hanya Muhammad.”
Tapi, Jibril menggelinjang. Tertawa terbahak-bahak. Aku pikir malaikat tak punya nafsu untuk menertawaiku. Mereka hanya tunduk patuh, kata guruku. Menggerayangi langit setiap malam menjelang fajar, mencurahkan rahmat kepada siapa yang Tuhan mau, juga membawa laknat ke dalam rumah tanpa memberi salam.
Aku pilih saja berjalan-jalan. Satu jembatan, antara surga dan neraka, menaiki bukit menuju A’raf yang penuh sesak dengan manusia yang tergelincir satu demi satu. Sahut-sahutan bergerilya -entah pada malam atau siang, karena matahari telah padam dan rembulan hilang pantulan cahayanya. Salamun ‘alaika, aku dengar. Juga sayup-sayup: Waylaka, waylaka.
Mana kitabmu?
Aku lupa bawa. Tertinggal dalam dompet di saku celana yang seharusnya tadi pagi masuk mesin cuci. Aku pilih mengeluarkan dinar, menggelontorkan dirham. Mata para malaikat terpaku, lalu diam seribu bahasa. Tak ada ruang berkolusi. “Ini bukan Jakarta,” katanya menghardik.
“Bagaimana kalau aku benar-benar lupa?”
“Maka kau bersalah.”
“Lalu, mengapa jika aku bersalah?”
“Masuklah neraka. Kemasi barangmu segera!”
“Mengapa tak kau buang aku ke dunia? Seperti Adam!”
Malaikat menyeringai. Aku ditarik, masuk dalam sebuah putaran aneh. Pelan-pelan semua bergentayangan satu per satu. Seperti film hitam putih, bergerak dalam layar bioskop tanpa suara.
Dan aku lihat, Iblis masih asyik dengan dzikirnya yang tak padam. Di bawan pohon khuldi.
kolonglangit, september 2009