//

Negeri Lapar dan Takut

7 mins read
1

Jika dirangkum semua keinginan, ambisi, target, dan kesenangan yang berupaya dihimpun manusia, ada dua saripatinya: makan dan rasa aman. Abraham Maslow boleh berbangga karena telah menempatkan keduanya pada teori piramida kebutuhan fundamental manusia. Memang, ia benar dan sesuai apa yang Allah ﷻ firmankan –lepas dari apakah Maslow sempat membaca surat Quraisy atau tidak.

Tak ada yang menyangka bahwa Muhammad ﷺ yang kemudian diberitakan diangkat sebagai Rasul terakhir muncul dari kalangan Quraisy. Mereka tak punya tradisi kenabian selepas Ibrahim dan Ismail. Mereka juga tak punya peradaban seperti Mesir, Byzantium, atau Mesopotamia. Hanya kota kering yang penduduknya hilir mudik setiap musim dingin ke Yaman dan musim panas ke Syam untuk berdagang.[1] Kesibukan berpindah-pindah membuat mereka luput dari membangun arsitektur megah.

Sebagian dari mereka menanggup untung dari wisata reliji di seputaran Ka’bah. Mereka didapuk sebagai kaum pemelihara Ka’bah dan memenuhi kebutuhan para peziarahnya. Mereka sekaligus menjadi pengusung tradisi syair yang indah –yang seberapa panjang pun syairnya, dapat mereka hafal di luar kepala. Mereka memang tak punya peradaban gedung, tapi kerasnya gurun membuat mereka menjadi penghapal ulung. Kelak, penduduk bumi berhutang pada tradisi menghafal syair ini karena dari ingatan merekalah Al Qur’an terpelihara dan hadits dapat dirangkum dari mulut ke mulut.

Dulu, berabad-abad lampau sebelum Quraisy menerima dan mengasingkan Muhammad ﷺ, Ibrahim pernah berdoa, “Jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan.”[2] Ibrahim mengerti benar dua perkara yang menjadi kebutuhan dasar rakyat. Ia tak meminta kekuasaan, kehebatan, atau daya intelektualitas. Pada mula dan ujungnya, manusia hanya berpikir sejauh mana perut mereka dapat terisi. Tak ada yang beres dan harmonis selama perut dibiarkan kosong. Tak ada negeri yang tenteram jika penduduknya terus menerus dicekoki dengan ketidakpastian lemari makanan mereka, ketidakmenentuan harga kebutuhan pokok, dan kemerosotan daya beli. Juga tidak ada negeri yang melesat maju jika ketimpangan terus menerus dipelihara –satu golongan makan malam berjuta-juta rupiah, dan golongan lain mengais makanan bekas.

Di Mekkah, pemandangan itu hampir punah. Sumber makanan melimpah tak berkekurangan. Maka Allah menyindir, “… (Dia) yang memberikan makan untukmu untuk mengusir segala rasa lapar.”[3] Pertumbuhan ekonomi berjalan lancar meski tanpa analisis inflasi-deflasi. Arus dagang mengalir, meski tak meroket. Ia menjadi tempat transit yang genah di antara dua kota dagang besar, Yaman dan Syam. Apalah lagi yang membuat mereka mengeluh, merasa berkekurangan dan tak dipenuhi rasa syukur?

Seperti doa Ibrahim pula yang diijabah Allah, Mekkah menjadi negeri yang aman –justru ketika daerah sekitarnya dipenuhi jalur merah penuh perampok padang pasir. Situasi politik stabil, tak ada yang berani merongrong dan mengkudeta kuasa pemeliharaan Ka’bah. Bahkan, serombongan pasukan gajah pun yang ingin menginvasi Mekkah digagalkan dengan jelita oleh Allah. Mereka terlindung. Allah menyindir kembali, “.. dan (Dia pula) yang memberikan rasa aman dari segala ketakutan.”[4]

Namun, justru di tengah kebutuhan-kebutuhan yang terpenuhi itulah, Quraisy menjadi pembangkang utama. Mata mereka tak buta, tetapi nafsu dunia membutakan hati mereka. Tak ada lagi sisa jalan menuju rasa syukur. Sumber daya alam yang melimpah dan stabilitas keamanan justru mendorong mereka mengkapitalisasi Mekkah. Mereka menyusun deretan berhala di sekeliling Ka’bah demi lesatan ekonomi, mengaburkan nilai dan ajaran lurus, hanif, yang diletakkan Ibrahim. Mereka mengkotak-kotakkan struktur sosial –melanggengkan kuasa pada pemuka kaum dan menempatkan mereka yang lemah dalam perbudakan dan kenistaan sosial.

Maka, ketika Muhammad ﷺ datang membawa tauhid, ada rasa aman yang terusik. Ada kecurigaan bahwa Muhammad ﷺ dan ajarannya akan menghancurkan kapital dan kuasa mereka. Ada ketakutan akan hilangnya mata pencaharian, status ningrat, dan turunnya derajat. Ketakutan-ketakutan mendasar manusia. Takut besok tak bisa lagi makan apa, tak mampu lagi naik mobil apa, tak dapat lagi beli barang apa, tak berdaya lagi duduk di jabatan apa, tak disodori lagi kemewahan apa, tak digandrungi lagi oleh follower apa, tak disanjung dan dipilih lagi oleh partai dan konstituen apa. Ketakutan pada ketidakmenentuan yang mengular di pikirannya sendiri. Padahal, Allah tak pernah ingkar janji terhadap binatang melata yang selalu dicukup rejekinya, juga kepada mereka yang beriman untuk dilempangkan jalan keluar dan rejeki yang tak pernah diduga arah datangnya.

Justru lapar dan rasa takut muncul dari kekufuran yang ditumpuk, sedikit demi sedikit. Mekkah, kemudian menjadi tempat percontohan berikutnya dalam firman Allah, “…sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah, karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan.”[5]

Quraisy itu disanjung oleh Allah, diberikan nikmat melimpah tak karuan dan selimut rasa aman. Quraisy pula yang dijatuhkan oleh Allah, dicabut kedua nikmatNya, dan dipurukkan ke dalam siksa kezaliman yang mereka gali sendiri.

Negeri ini jauh lebih hijau, lebih kaya, lebih penuh dengan harta karun rasa syukur daripada dari dataran tempat Quraisy bermukim. Mungkin kita perlu sekali-sekali merasa lapar untuk tahu betapa nikmat rasa kenyang. Tahu rasa disiksa agar mengerti benar arti amanah dalam kekuasaan yang harus dijaga. Kenal pada ketidakpastian dan keonaran agar memahami dengan sempurna bahwa kekuasaan digenggam untuk menyebarkan kebaikan, bukan melebarkan kesenjangan. Paham pada rasa takut agar mudah untuk mensyukurinya, bukan mengutuknya sembari ingkar terhadap kebaikan dan kasih sayang Allah yang tak berbatas.

Rotterdam, Muharram 1441

[1] QS Quraisy 2

[2] QS Al Baqarah 126

[3] QS Quraisy 3

[4] QS Quraisy 4

[5] QS An Nahl 112-113

Foto fitur diambil dari: https://time.com/5307993/heres-why-you-get-hangry/

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan