Qur’an Based Life

5 mins read

Bolak-balik mahasiswa datang ke saya, kadang dengan menelepon berkali-kali terlebih dahulu, hanya untuk memastikan topik yang diambilnya untuk sebuah tugas. Memang, tugas itu barangkali menjadi momok bagi kebanyakan mahasiswa kedokteran. Barangkali pula banyak yang tak mengerti benar mengapa mereka harus berjibaku dengan jurnal, lengkap dengan metode dan analisis statistiknya. Tak ingin berpeluh hanya untuk menilai sebuah studi itu sahih atau tidak, kebanyakan beranggapan: Berikan saja kesimpulannya, beres!

Evidence Based Case Report, nama tugasnya. EBCR, atau i-bi-si-ar dalam pelafalan bahasa Indonesia. Entah siapa yang keliru, mahasiswa seringkali datang tidak dengan “masalah”, namun kesimpulan. Retrograde tasking, dalam istilah saya. Mengerjakan tugas dengan mundur yang dimulai dari kesimpulan menuju hipotesis dan masalah. Saya sering tersenyum-senyum sendiri dan mencari penyebabnya. Keterbatasan waktu pengerjaan tugas yang dikombinasi dengan kemalasan dan kekurangpahaman urgensi bisa jadi penyebabnya. Saya belum melakukan survey, jadi jangan tanyakan seberapa valid kebenaran asumsi saya itu. Tapi, pasti ada yang keliru dalam logika belajar mahasiswa.

Jika seseorang diminta untuk berjalan mundur, bias arahnya akan lebih besar dibandingkan jika ia diminta berjalan maju. Sedangkan yang berjalan maju akan tahu di mana posisi awalnya dan ke mana ia harus menuju. Seringkali kita tidak menyadari bahwa keberhasilan sesuatu, bahkan program, bukan karena seberapa canggihnya strategi kita menghadapinya, tapi bagaimana kita memformulasikan masalah. Salah penempatan titik berangkat permasalahan, tujuan semakin sulit dipecahkan. Parahnya, itulah yang kebanyakan terjadi pada mahasiswa, barangkali juga pada dosennya, para menteri, atau bahkan Presiden dan para staf ahlinya.

Life is bundles of problems. Itu kata saya, bukan mengutip tokoh terkenal. Jadi, jangan harap menemukannya di mesin pencari semacam Google. Bagi saya, hidup memang persoalan. Allah menciptakan ruang masalah dengan kehendakNya bukan untuk membuat manusia tersiksa, namun untuk membuat derajatnya meningkat. Bahkan, sejak Adam dan Hawa di surga pun, Allah menyediakan ruang masalah dalam ‘pohon keabadian’, khuldi –seperti yang dibisikkan Iblis. Ada harapan, ada realita. Para ahli menyederhanakan istilah masalah sebagai ‘jurang antar keduanya’.

Dan lihatlah hidup, seberapa banyak realita kita yang menemukan harapannya dengan sempurna. Mulai dari bangun tidur melihat rumah yang berantakan, pergi ke kantor dalam kemacetan dan berdesak-desakan, janji yang tak tepat waktu, mahasiswa yang membuat kesal, rekan kerja yang tak menuntaskan pekerjaannya, atau bos yang selalu marah-marah. Cobalah lagi tengok ke dalam diri kita, seberapa banyak ‘jurang antara harapan dan realita’ itu. Problems are anywhere. Allah yang menunjukkannya dengan alasan yang kuat –karena Ia menciptakan manusia dengan akal, jiwa, dan bekal pedoman hidupnya.

Takdir, dalam cernaan fisika, bukanlah hasil akhir tentuan Allah. Ia adalah sekumpulan atom positif dan negatif, dan kitalah yang membuatnya saling berinteraksi. Kita yang menentukan afinitasnya, kecenderungannya, sedangkan Allah menyediakan sarananya. Begitu pun problem –yang dengannya adalah bagian yang tak terpisah dalam takdir. The significant problems we face cannot be solved at the same level of thinking we were at when we created them, kata Einstein. Maka dalam kehidupan, Allah berikan petunjuk bagaimana menyelesaikan beragam permasalahan. Dia limpahkan karunia yang Muhammad titipkan saat khutbah Wada: Al Qur’an dan al Hadits –yang tak akan tersesat siapapun yang berpegang teguh kepada keduanya. Tingkat berpikir kita memiliki keterbatasan, sedangkan tidak bagiNya. Hingga pada satu saat Abu Bakar as Shiddiq berucap dalam kalimat hiperboliknya yang terkenal, “Jika tali untaku hilang, pasti akan aku temukan dalam Al Quran,” untuk menyebut betapa Al Qur’an melampaui karya pikir manusia.

Jika saya mengingat polah mahasiswa yang kebingungan mencari masalah dalam tugas EBCR-nya, saya lantas teringat betapa banyak persoalan dalam hidup dan betapa mudah menemukannya. Masalah yang kita hadapi bukanlah masalah yang sesungguhnya, bukan the real problems. Kita yang tentukan ambang batasnya, threshold-nya. Yang lantas jatuh karena permasalahan kecil adalah mereka yang tak mampu meningkatkan ambang batas ‘masalah’-nya. Maka tuntutlah ambang batas setinggi-tingginya hingga mendekati ambang batas Muhammad –yang meyakini bahwa ‘masalah sesungguhnya’ dalam hidup adalah ketiadaan Allah dalam sanubari. Qur’an bukan sekadar kesimpulan, lalu kita tarik ke belakang sebagai formalitas keilmuan. Tak pantas ia sekadar dijadikan bahan retrograde tasking. Ia harus jadi The Guidance; acuan sekaligus bukti.

Ketika mahasiswa-mahasiswa itu meminta tandatangan saya agar tugas EBCR-nya disahkan, saya tercenung sendirian. Saya berpikir barangkali juga nanti saya menyerahkan tugas ‘kehidupan’ saya ke hadapan Allah untuk ‘disahkan’. Bukan tugas EBCR. Tapi, tugas QBL, Qur’an Based Life –sejauh mana saya menginduksi pokok kehidupan saya dengan Al Qur’an.

Rotterdam, September 2012

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

0 Comments

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan