/

Sentuhan yang Baik

4 mins read
Source: https://www.filmaffinity.com/

Dalam perjalanan udara yang lain, sebuah film berbahasa Spanyol, “El Mal Ajeno” membuat saya berefleksi kembali. Diego, dokter ruang emergensi, rawat intensif, dan nyeri, belakangan kehilangan rasa empati ketika merawat pasiennya karena beban kerja yang tinggi dan soalan keluarga. Semua ditangani sesuai teori dan bukti ilmiah. Jika tak ada harapan hidup, maka ia katakan begitu adanya. Jika kaki pasien akan membusuk, maka ia sebutkan bahwa sekian hari lagi kakinya membusuk. Pada satu sore, ia ditembak –namun, tidak sampai meninggal, dan kembali sambil membawa pesan: menjaga kehidupan seorang pasiennya yang berkali-kali ia yakini tak punya harapan hidup lagi.

Pada sebuah scene, pasien dengan kaki yang nyaris tak punya harapan meminta Diego menyentuh kakinya. “Ya, sentuhlah,” katanya. Baru kali itu Diego memegang kakinya, padahal, ungkap si pasien, “Itu yang aku butuhkan darimu”.

Percakapan itu mengingatkan saya kepada sepasang kakek-nenek yang masuk ke ruangan, berkisah tentang jatuhnya di lantai dan nyeri di jarinya yang tak dapat ditahan, lalu menyodorkan foto rontgen tangannya, lengkap dengan hasil bacaan, resep obat, dan jari yang sudah terbidai. Sudah lengkap semua, dan saya bertanya, “Apa yang Bapak-Ibu harapkan dari saya? Bapak sudah ke dokter spesialis yang benar, dan saya, dokter umum, mengira tatalaksananya sudah sesuai.” Jawaban mereka membuat saya belajar: “Iya. Tapi, kami tidak bisa bertanya. Kami tidak bisa mengobrol dengan dokternya. Makanya, saya ke sini. Mau mengobrol sama dokter.”

Apa yang diharapkan dari hidup ini, sesungguhnya? Hasil yang baik –yang sama sekali tidak dapat kita garansikan? Atau, usaha yang baik –yang sepenuhnya berada dalam kendali kita?

Persoalan tentang manusia tidak selamanya matematis dan sepenuhnya dapat diprediksi. Guru yang melihat muridnya tak juga pandai menghitung dengan cermat, tak pernah tahu bahwa masa depan memungkinkan kesuksesan berupa seniman handal yang terkenal. Itulah mengapa potensi harus diselidiki, kebesaran hati perlu dinaungi, dan harapan tak berhak untuk dikunci.

Atasan yang melihat karyawannya tak becus mengejawantahkan komando teknisnya, tak pernah punya sangkaan bahwa kesuksesan boleh jadi diraih si karyawan di tempat lain, dengan posisi lain yang lebih baik, dengan lesatan karier yang lebih menjulang. Itulah mengapa kesalahan perlu diberi ruang, perkembangan tak pantas dikekang, dan jabatan tak punya hak untuk menjadi alasan keangkuhan.

Dokter, seberapapun ia mengerti bukti ilmiah dalam sederet jurnal tentang kemungkinan hasil pengobatan, tetap perlu menyediakan kemungkinan bagi harapan pasien: apa yang membuatnya bahagia, membuat kualitas hidupnya lebih baik. Tidak melulu dengan obat, bahkan seringkali justru dicukupkan dari percakapan yang empatik, dari harapan yang ditumbuhkembangkan.

Keselamatan tidak melulu tentang hidup dan mati, tidak juga tentang sukses dan gagal, pun tidak tentang sakit dan sehat; tetapi tentang keikhlasan, kerelaan hati, dan kesempurnaan ikhtiar.

Mereka yang bekerja dengan ikhlas akan menyediakan tempat bagi empati untuk menyelinap dalam setiap sentuhan kerjanya. Mereka yang menuntut dan menerima dengan ikhlas akan meluangkan hatinya untuk bersandar pada Kekuatan Lain di Luar Dirinya.

Dan, mereka yang mengerti bahwa setiap sendi tulangnya harus disedekahkan dalam keikhlasan –dalam sakit-sehatnya, dalam sempit-luangnya, dalam tua-mudanya, dalam kaya-miskinnya, akan menjumpai jalan lempang yang dimudahkan Tuhan menuju kepadaNya.

Tak peduli kita sampai di mana, apa yang kita dapatkan, Tuhan hanya perlu kesan dalam kehidupan yang kita rayakan: Sentuhan yang Baik. Ia ada dalam ikhtiar yang ikhlas.

Rotterdam, April 2017

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan