UJUD DISKRIMINASI

3 mins read

Saya menjenguk sejarah Apartheid di museum ini: Apartheid Museum di Johannesburg, Afrika Selatan. Sejak gerbang masuk, aura diskriminasi sudah kental. Dalam bentuknya yang paling klasik, diskriminasi berujud pada warna kulit. Anda hitam, dan saya putih. Putih superior, dan hitam inferior. Ada bentuk modern, ia tak lagi berujung di penjara, tapi pada rasa rendah diri yang disemai dari produk-produk kosmetik. “Ayo, jadilah putih dan tinggalkan kekusaman,” kata produk kapitalistik itu. Bahkan, ketiakmu pun disuruhnya untuk menjadi putih. Anak-anakmu yang (sedikit) hitam, akan didoakan agar segera beranjak menjadi putih. Atau setidaknya, sedikit lebih terang.

Diskriminasi kemudian tak lagi dihalu parameter fisik, tapi kelayakan secara kapital. Tak ada becak dan bajaj di jalanan utama ibukota, seperti juga marjinalisasi motor di simpang Sudirman-Thamrin. Tak akan ada motor melintas di depan lobi hotel seperti mereka melintas di depan lobi pasar. Tak pantas, tak elok.

Hari ini memang tak ada peraturan semacam Undang-Undang Daerah Urban 1928 milik Afrika Selatan yang mensegregasi komunitas putih dan non-putih secara eksplisit. Tetapi, pusaran halu pasar yang membuat harga tanah dan properti melonjak sedemikian hebat menunjukkan gelagat dan efek yang serupa. Segregasi. Mereka yang kuat secara finansial akan berdiri di tengah kota, sedangkan yang lemah akan duduk bersila di pinggiran untuk sesekali menyelinap masuk ke kota demi sesuap nasi.

Apa yang disebut diskriminasi, kemudian?

Ia benar-benar hadir sebagai fitrah, sesungguhnya. Bukan perbedaannya yang menjadi penting, tetapi respons terhadap perbedaan itu yang seharusnya melintasi akar masalah.

Ada yang tak terlalu pintar sehingga tak bisa melanjutkan sekolah, itu realita. Tapi membiarkannya bukanlah respons yang tepat. Harus ada kebijakan di luar debat kartu-kartu dan plus-plus yang memberikan ruang bagi mereka untuk tetap berdayaguna meski tak berkesempatan memiliki kapabilitas akademik yang baik.

Ada yang lemah secara ekonomi, itu fakta yang langgeng sampai akhir jaman. Tapi membiarkannya bukanlah respons yang tepat. Harus ada kebijakan yang menjembatani si kaya dan miskin untuk berinteraksi dalam komunal nafkah yang sebenarnya, bukan sekadar bantuan temporer yang menjebak mereka dalam kemiskinan herediter.

Siapa yang mempelopori solusi terhadap perbedaan yang ada, itulah yang semestinya didukung. Tak semestinya lagi ruang perbedaan dieskploitasi sekadar untuk memancing deru politik, apalagi dengan sekadar mengais isu berbedanya fisik dan latar belakang.

Adakah yang masih tertarik kepada jalan keluar, atau kita lebih senang berkubang pada kontur masalah?

Lamat-lamat saya mendengar, waman yattaqillaha yaj’al lahu makhraja. Sesiapa yang bertakwa kepada Allah, akan disediakan baginya jalan keluar. Tapi, kembali saya bertanya; takwa semacam apa, ya Rabb? Di tengah puing definisi yang bersilangan tentangMu…..

Johannesburg, Maret 2017

 

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan