Tapi, sebegitu luasnya mata pandang kita, seringkali kita menemui jalan buntu terhadap kebaikan. Kita kehilangan respons kebaikan, bahkan terhadap kebaikan. Kita kesulitan menemukan ruang untuk menjadi ummiy; menjadi kosong terhadap timbunan referensi dan membiarkan diri kita mencerna keutuhan kebaikan dengan nurani.
Kebaikan dan keburukan itu tidak menempel sepenuhnya pada sesuatu. Tetapi, kebaikan dan keburukan itu menempel pada respons terhadap sesuatu. Kalau zaman ini menawarkan begitu banyak kemudahan, akses informasi yang membanjir, kedekatan dengan siapapun yang dapat diikuti setiap detik dan menitnya, itu baru kebaikan yang melekat pada sesuatu. Belum tentu ia menjadi kebaikan sejati kalau respons kita justru buruk terhadap sesuatu yang kita anggap baik itu.
Apa yang sulit kita temukan di internet hari ini? Dengan satu-dua jentik jemari saja, kita tahu apa yang menjadi olok-olok presiden negeri nun jauh di sana; kita membaca desas-desus presiden kita sendiri; kita membahas tingkah gubernur, bupati dan walikota; kita mendebat-debatkan isi pengajian majelis sebelah; kita mengalor-ngidulkan obrolan tentang artis yang nikah, cerai, dan pacaran; atau kita memakan lauk-pauk bangkai saudara kita sendiri di ruang media sosial sambil berhaha-hihi.
Kita umat yang tak lagi gagap teknologi, apalagi buta aksara. Limpahan referensi kita kaya. Googling kita tak berbatas kuota.
Tapi, sebegitu luasnya mata pandang kita, seringkali kita menemui jalan buntu terhadap kebaikan. Kita kehilangan respons kebaikan, bahkan terhadap kebaikan. Kita kesulitan menemukan ruang untuk menjadi ummiy; menjadi kosong terhadap timbunan referensi dan membiarkan diri kita mencerna keutuhan kebaikan dengan nurani.
Mekkah bukan negeri yang terbelakang ketika Muhammad diutus. Penyair-penyair lahir dan tumbuh di sana. Prediksi neraca perdagangan dapat diukur jauh-jauh hari. Taurat dan Injil dibaca dengan teliti –bahkan, mereka mengenal ciri-ciri nabi terakhir seperti mereka mengenal ayahnya sendiri. Informasi apa yang tidak membanjir, tidak masuk dalam koneksi dan ruang intelektualitas mereka? Tetapi, berkali-kali Allah menegaskan, meng-highlight, men-ta’kid, bahwa Muhammad itu ummiy. Alladziina yattabi’uunar rasuulan nabiyyal ummiya al ladzii yajiduunahu maktuuban ‘indahum fit taurati wal injiil.
Ummiy itu, kata Imam Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa-nya, bukan berarti Muhammad tak berilmu atau tak mampu menghafal. Ummiy itu, kata Qatadah yang disitir dalam Tafsir At Thabary, adalah ketidakmampuan Muhammad menulis.
Muhammad tidak menjadi persona –yang dengan limpahan informasi dan keteguhan budaya sastra pada jamannya– ikut-ikutan menuliskan sesuatu, menteorikan asumsinya, mendeklamasikan hipotesanya untuk mengkritik komunitasnya dan menyimpulkan kebenaran akalnya. Meskipun, jika ia melakukan hal tersebut, ia laik mendapat tempat terhormat dengan keputusannya itu. Tetapi, ia –dan tentu Allah– membatasi dirinya untuk tidak menuliskan apapun. Walaa takhuttuhu biyamiinika. Dan Muhammad tidak pernah menuliskan sesuatu (kitab) dengan tangannya sendiri.
Ia mendermakan batinnya untuk dengan jernih menilai kebenaran. Ia ber-uzlah, mengasingkan diri dari kebisingan –yang betatapun meriah dan menarik hati, tidak memberikan keleluasaan hati untuk mencerna kebaikan yang sejati. Ia tidak lahir dari kebutaannya terhadap politik, tetapi ia membatasi diri untuk tetap jernih dan memohon panduan kepada Tuhannya. Ia tidak serta merta muncul dengan kegagapannya terhadap kultur masyarakatnya, tetapi membentengi diri dari pengaruh yang dapat saja terlalu deras memengaruhi pola pandang dan pikirnya.
Kebaikan itu lantas kita perlu pahami sebagai sesuatu yang tidak melulu identik dengan titel akademik, banyak dan tebalnya buku yang dibaca, luas dan mengalirnya teori dalam khutbah, tajamnya analisis dan kritikan yang meluncur, melimpahnya sitasi dalam artikel yang ditulis, atau seberapa banyaknya video yang ditonton dan di-share. Kebaikan itu adalah respons yang baik, bahkan terhadap keburukan. Ia adalah kebaikan yang dicontohkan Muhammad. ‘Alim yang menumbuhkan tawadhu. Khidmat yang melenggangkan kasih sayang. Pitutur yang mengguyur kering dan kerasnya hati. Keluasan pandangan yang tidak membentur-benturkan. Ketegasan terhadap kekufuran yang dibaluti kelembutan.
Kejahiliyahan itu tidak pula ditentukan dari sedikitnya ilmu dan bodohnya manusia dari pengetahuan. Jahil itu perkara respons. Informasinya detil diterima, tapi hatinya menolak seperti menolaknya mereka yang berkata: nu’minu bimaa unzila ‘alainaa, wayakfuruuna bimaa waraa-ahu. Bagiku, kebenaran ya hanya yang ini saja, dan aku tidak menerima kebenaran apapun selain yang aku yakini. Dibiarkannya hawa nafsunya bertentangan dengan apa yang sesungguhnya menjadi kebenaran sejati.
Maka, jalan menjadi ummiy itu barangkali perlu disusuri lagi. Menjadi ummiy YouTube, menjadi ummiy medsos. Menjadi tidak meningkahi semua yang mampir di simpul-simpul sarafnya dalam spektrum aqly semata. Bukan untuk menjadi buta, tetapi untuk membatasi diri dan membuka ruang lebih besar untuk refleksi diri. Barangkali itu yang akan membuat kata-kata kita menjadi lebih bertenaga. Kariima dan Sadiida.
Rotterdam, Jumadil Ula 1439
Gambar fitur diambil dari: http://nasional.kompas.com/read/2014/03/29/1153482/Media.Sosial.dalam.Kampanye.Politik