Uwais di San Diego Hill

5 mins read

Saya masih ingat seorang pasien yang datang dengan nada cemas yang berlapis-lapis. “Saya sulit tidur seminggu ini,” katanya. Wawancara saya mulai dengan menyingkirkan faktor organik yang tak menjumpai sasaran. Hampir lima menit berkutat dengan beragam pertanyaan, akhirnya saya kembali mengakkan tubuh saya dan menjulurkan telinga saya. “Silakan cerita, saya mendengarkan, Pak.”

Setelah diam beberapa saat, ia mulai berkisah. Cemasnya memang tampak tak berujung. Pasalnya, ia baru saja menengok San Diego Hill sepekan sebelum bertemu saya. Rupanya, tak ada yang lebih mengkhawatirkan bagi seorang pria nyaris 60 tahun, kecuali pemakaman yang rindang dan nyaman sebagai tempat menyemai lelah selepas kepenatan dunia. Ia terobsesi, jelas. Tapi, tak pernah ia sangka bahwa tabungannya tak mencukupi untuk hidup tenang di alam kubur nanti.

Tak tahu harus tertawa atau bersedih, saya menatap mukanya yang pilu. Lelaki itu tengah mempersiapkan kematiannya yang entah kapan ia jemput. Menjadi juru da’wah di meja konsultasi rasanya harus saya ulur sebentar sambil menjulurkan muka saya lagi ke depan dan mendengarkan keluh kesahnya sampai usai. Hingga kemudian saya merasa yakin meski tak seagamanya dengannya, lelaki paruh baya itu religius.

Ia tiba-tiba mengingatkan saya tentang kematian dan segala prosesi penjemputannya. Bahkan, kami berdua sesungguhnya tak ada yang mengerti dengan pasti siapa di antara kami yang dipanggil lebih dulu oleh Tuhan. Bisa jadi dia, bisa pula saya. Hanya saja, saya lantas patut bersedih jika akhirat harus dibeli dengan uang dalam saku dan tabungan. Barangkali, yang menghuni surga nanti hanya para priyayi dan saudagar sukses. Ditandu ke pemakaman dengan elegan, dikubur berderetan dengan kelas segolongan, lalu ditinggal dalam sunyi kemegahan.

Amitriptilin sesungguhnya tak akan mempan mengusir kecemasannya dan membuatnya tidur terlelap seperti sedia kala. Justru saya ingin bercerita, sesungguhnya. Tentang Bilal bin Rabah, yang terompahnya sudah terdengar di surga semasa ia hidup. Tentu pula tentang Uwais al Qarni, yang kematian dan penguburannya diurus oleh para malaikat –tersembunyi dan di-‘pesta’-kan oleh penghuni langit.

Saya tak pernah pergi ke San Diego Hill dan tak mengerti bagaimana komplek pekuburan itu laik dikagumi. Tapi, sebagaimanapun sebuah pekuburan dibangun, agama saya mengajari kesederhanaan. Tak perlu ada bangunan di atasnya, tak perlu pula berhias-hias membangun nisan. Shiratal mustaqim sesungguhnya tak akan pernah macet seperti Jakarta, tapi bukan berarti ia sama lempang bagi semua manusia. Pekuburan yang indah tak ada pengaruh; seperti tak ada pengaruhnya voorijder di tengah sekumpulan manusia di padang mahsyar. Setiap pribadi adalah penolong bagi dirinya sendiri, bahkan ia berlepas dari bapak, ibu dan saudaranya sendiri.

Mendapati si pasien yang menyimpan cemas dalam raut mukanya, saya seperti ingin berkisah bersamanya tentang Uwais al Qarni, pemuda yang taat kepada segala titah ibunya hingga tak sempat bersua dengan Muhammad, kekasih yang hanya bisa didengarnya dari cerita orang yang pernah pergi ke Madinah. Uwais bukan seorang kaya, bukan pejabat, bukan pula ulama. Tidak ada yang begitu mengenalnya dan tak ada satupun perkara dunia yang membuatnya terkenal. Bahkan, kewafatannya tak bersisa kabar, kecuali segenap urusan pemakaman telah selesai tanpa campur tangan manusia. Ketaatannya dalam agama, juga baktinya kepada sang ibu, membuatnya tak perlu cemas tentang perkara pekuburan; di mana, dengan apa, atau bersama siapa. Segala urusan kewafatannya diurus sendiri oleh Allah dalam Ke-Mahacinta-anNya, dijulurkanNya dalam urusan para malaikat.

Uwais tak akan pernah hadir lagi di dunia dalam bentuk yang serupa. Tapi, sekiranya mampu, kisah Uwais itu semestinya dibentangkan ke segala penjuru negeri, juga di San Diego. Ia yang mengajarkan bahwa kenikmatan akhirat pun bisa dijemput saat kewafatan, yang menasihati bahwa bekal sesungguhnya menjumpai Tuhan bukanlah kemewahan dan kehormatan dunia. Meski tak sepenuhnya keliru membuatkan pekuburan yang rindang dan nyaman selagi ada kesempatan di dunia, ada yang lebih utama dipersiapkan demi iringan amal yang mendampinginya; yang dibawanya ke dalam kubur, juga yang ditinggalkannya di dunia serupa amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak-anak shalih yang mendatangi pekuburannya dengan doa yang mustajab.

Ketika si pasien kembali datang beberapa hari kemudian, ia sudah sanggup tersenyum. “Saya sudah bisa tidur enak sekarang, Dok,” katanya. Entah karena amitriptillin, nasihat saya, atau sekadar ingatan saya pada Uwais. Yang pasti, senyum si pasien membuat bayangan sendiri di kepala saya: Uwais tengah berdiri di San Diego Hill, bersama para malaikat.

Rotterdam, Januari 2013

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

0 Comments

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan