Banwir, Bangwir, Blangwir, Brangbir….

2 mins read
2

Nguing-nguwing-nguwing-nguwing

 

Anak-anak sontak berhamburan ke tepi jalan. Semua permainan, dari galasin, benteng-bentengan, petak umpet, tendang kaleng, lompat tali, congklak, sampai bola kasti bubar. Dari jauh, Marsose yang melihat anak-anak berlarian seperti kesetanan pun ikut heran. Larilah pula ia ke tepi jalan.

“Ade ape sih pade lelarian?”

“Ada banwir, Bang Marsose….” Kata satu anak.

“Bukaan. Bangwir!”

“Blangwir.”

“Blangbir tahuuu…”

“Blambir. Pake M, bukan NG.”

“Brangwir. Sok tahu banget lu bocah…”

“Brambir.” Sampir mengelepak kepala sebelahnya.

“Ban-uwiiir.”

Semuanya sewot. Tinggal panggil bandar judi, jadilah itu barang haram judi pinggir jalan. Tapi, daripada berjudi, main taruh-taruhan siapa yang paling benar, Marsose mendamaikan semua pihak yang bertengkar. “Hus, jangan jadi kayak calon gubernur dong, pade berantem aje,” kata Marsose.

Karena beda orangtua, beda kakek nenek, beda lingkungan, beda bacaan, informasi bisa menjadi terdistorsi sedemikian rupa. Bahkan, masing-masing meyakininya dengan sepenuh hati seperti kitab suci. Maka, mencari sumber yang valid itu penting supaya silang pendapatnya tidak seperti kanak-kanak.

Marsose mengajak ke warung internet yang setiap kali buka layar komputer ada gambar lumba-lumbanya. “Nih…. Lu bace deh semuaaa.”

 

brandweer-heerenveen
Nah, bacanya: BRAN-WIR. Sumber: http://grootheerenveen.nl/2017/09/15/zorgen-paraatheid-brandweer-heerenveen/

 

 

 

“Blanwil, Bang.” Tiba-tiba kepala bocah tiga tahun nongol di samping Marsose.

Iya aja dah. Ya, apapun disebutnya, asal jangan sebut Bang Jawir saja. Nanti dia melongok dari jendela rumahnya sambil lempar sendal ke muka ente.

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

2 Comments

  1. Kang, tulisannya mengena. Sesuai dengan percekcokan masa kini. Hanya karena istilah, dan masing-masing tak mau menyerah. Semoga pemimpin yang adil muncul setelah Pandemi ini

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan