Nguing-nguwing-nguwing-nguwing
Anak-anak sontak berhamburan ke tepi jalan. Semua permainan, dari galasin, benteng-bentengan, petak umpet, tendang kaleng, lompat tali, congklak, sampai bola kasti bubar. Dari jauh, Marsose yang melihat anak-anak berlarian seperti kesetanan pun ikut heran. Larilah pula ia ke tepi jalan.
“Ade ape sih pade lelarian?”
“Ada banwir, Bang Marsose….” Kata satu anak.
“Bukaan. Bangwir!”
“Blangwir.”
“Blangbir tahuuu…”
“Blambir. Pake M, bukan NG.”
“Brangwir. Sok tahu banget lu bocah…”
“Brambir.” Sampir mengelepak kepala sebelahnya.
“Ban-uwiiir.”
Semuanya sewot. Tinggal panggil bandar judi, jadilah itu barang haram judi pinggir jalan. Tapi, daripada berjudi, main taruh-taruhan siapa yang paling benar, Marsose mendamaikan semua pihak yang bertengkar. “Hus, jangan jadi kayak calon gubernur dong, pade berantem aje,” kata Marsose.
Karena beda orangtua, beda kakek nenek, beda lingkungan, beda bacaan, informasi bisa menjadi terdistorsi sedemikian rupa. Bahkan, masing-masing meyakininya dengan sepenuh hati seperti kitab suci. Maka, mencari sumber yang valid itu penting supaya silang pendapatnya tidak seperti kanak-kanak.
Marsose mengajak ke warung internet yang setiap kali buka layar komputer ada gambar lumba-lumbanya. “Nih…. Lu bace deh semuaaa.”

“Blanwil, Bang.” Tiba-tiba kepala bocah tiga tahun nongol di samping Marsose.
Iya aja dah. Ya, apapun disebutnya, asal jangan sebut Bang Jawir saja. Nanti dia melongok dari jendela rumahnya sambil lempar sendal ke muka ente.
Kang, tulisannya mengena. Sesuai dengan percekcokan masa kini. Hanya karena istilah, dan masing-masing tak mau menyerah. Semoga pemimpin yang adil muncul setelah Pandemi ini