Bale-bale di depan rumah Cing Aji memang biasa dipakai buat kumpul-kumpul. Banyak obrolannya. Istilahnya: kongkow-kongkow. Kalau masuk tivi, berubah jadi: tolk-sow. Kalau di riungan ibu-ibu, namanya: gosip arisan. Kalau di pengajian… ustadz-nya bilang: itu ghibah, ngomongin oraaang, dossaaa, istighfaaar. Tobat deh ente semua!
Sampailah cerita tentang anak perempuan Bang Rojali. “Anak perempuan kerja di bengkel, kagak pantes. Babe-nya gimane sih ngajarin anak kagak becus begitu. Kalo di tokoooo, pantesan dikit dah.”
Marsose angkat tangan. Interupsi, katanya. Sok-sokan kepingin jadi wakil rakyat. Nah, kalau wakil rakyat lagi kongkow-kongkow, namanya: SIDANG PARIPURNA. Marsose mirip-mirip begitulah –sambil teriak berkali-kali, “Pimpinan sidang, pimpinan sidang…. Pimpinan sidaaaaaaannnggg!!”
Rupanya Marsose mau bilang. Asa muasal kata “Bengkel” adalah “Winkel” [B. Belanda]. Artinya ‘toko’. Alkisah di Kampung Kompeni, kebanyakan yang bekerja di took adalah laki-laki. Jadi, dulu tidak ada suara-suara yang panggil-panggil genit, “Kakak, dilihat barangnya dulu Kakaakk… Kakkaaaakk….” Mungkin karena sekarang banyak kakak durhaka yang tidak mengakui adiknya sendiri, maka banyak adik-adik yang ketelingsut dan hilang di pasar, khususnya i-te-ce.
Nah, toko-toko yang diisi pekerja lelaki tersebut kebanyakan memang berurusan dengan perkakas. Jadilah kalau ditanya, “Kerja di mana, Broww?” Di winkel. (muncullah background musik: winkel, winkel, little star)
Eh, dasar orang Belanda kalau bicara suaranya tidak jelas. Grenyem-grenyem. Mulutnya tidak dibuka lebar kayak setiap ke dokter gigi. Jadilah orang di Kampung Kompeni salah mendengar. ‘Winkel’ terdengar sebagai ‘bengkel’. Tidak percaya? Coba deh, suara ente diserak-serakin dikit, mulut bentuk huruf O. Sebut “Winkel” tiga kali.
Bento, Bento, Bento…. Eh,Winkel, Winkel, Winkel….
Berubah jadi bengkel? Coba terus sampai terdengar ‘bengkel’. Setelah itu, ente layak jadi bule.
.
.
.
.
.
Udah,udah. Minum air yang banyak gih….