Tanggal sudah tua. Kalau sudah tua, biasanya memang banyak doa, rajin ibadah, dan memohon pertolongan. Salah satu permohonan, wa bil khusus yang dipanjatkan oleh pegawai yang gajian bulanan, adalah ke warung sebelah. Doanya, “Kas bon dulu ya, Maaak…”
Marsose yang lagi asyik minum kopi sampai tersedak. Batuk-batuk lima belas kali. Mak Ijah sampai rajin menghitungnya karena kalau sampai ada pelanggannya yang batuk dua puluh kali, dia yakin warungnya rugi dunia akhirat. Aduh, Mak Ijah. Itu syirik kuadrat, namanya. Marsose melotot ke arah anak muda kurus tipis yang kelihatan memang gajinya setara pegawai negeri yang tidak naik-naik puluhan tahun, padahal harga cabe naik tiap bulan, harga bensin naik ngumpet-ngumpet.
Senyum si anak muda pool, maniis, ramaaah, khusyuuu’, ikhlas lahir batin. Kalau ibadah, pahalanya langsung naik ke langit ke tujuh. Ujung-ujungnya cuma mau bilang, “Ngas-bon dulu ye, Mpok. Belon gajian.” Ditutup dengan salam yang sempurna karena dicampur cengiran kuda sambil melipir.
“Woy, kagak bayar minta kasbon!” Marsose teriak batu sembunyi tangan. Yang diteriaki kabur terbirit-birit.
Kok enak? Tidak bayar, tapi minta bon? Padahal, bon atau kasbon itu aslinya dari “Kassabon” [B. Belanda] yang artinya ‘bukti pembayaran’. Setelah bayar, si pembeli memperoleh buktinya. Biasanya ditawarin, “Mau bon(-nya)?” Bukan ditawarin buat utang.
Sumber: http://www.djangkarubumi.com/2016/04/cara-warung-orang-lain-bangkrut.html
Kejadian di warung-warung Kampung Kompeni malah kebalikannya. Yang membeli justru tidak diberikan bukti. Barangkali dianggap mubazir. Tidak ada printer, tidak ada pula kewajiban setor penghasilan warung ke jenderal-jenderal pajak. Yang berhutang malah yang rajin dicatat. Nama, jumlah item, total hutang, kalau perlu pakai nomor telepon karena kebiasaan ganti nomor pakai kartu perdana yang beli seribu perak sudah dapat data 500 Mega (byte). Semua ditulis dengan BOLD, KAPITAL, UNDERLINE. Jadilah, maknanya berputar 180 derajat. Belakangan, bon tidak lagi diberikan dalam secarik kertas, tapi dicatat di buku kasbon segede-gede gaban.
Itu ‘kasbon’. Kalo lem ai-bon?
Au ah…