Pagi-pagi, Marsose datang menemui Cing Aji di warung kopi yang ternyata juga menjual teh manis, kacang ijo, ketan item, kue lupis, pisang goreng, ubi goreng, dan segala goreng-gorengan yang penuh lemak jenuh karena minyaknya merupakan minyak super yang tidak perlu diganti kayak pemain sepakbola yang sering kecapekan sebelum habis pertandingan. Niat dan maksud kedatangannya kepada Cing Aji tidak lain dan tidak bukan, kecuali mengharapkan keridhoan, eh… pertolongan. Marsose mau jual motornya yang sudah tua dan kali ini Cing Aji diharapkan bisa membantu. Barangkali Cing Aji tahu trik menjual barang second (baca: seken) lewat internet.
“Boleh, Sosee. Entar ane bantu jualin. Asal ente ngerti dah, kudu ade persekotnya.”
Marsose marah. Marsose yang jual, kok Marsose juga yang kudu bayar persekot?
Orang di Kampung Kompeni mendengar kata “Voorschot” [B. Belanda] dari orang Belanda langusng. Tapi, gegara telinga sama mulut rada jauh kemampuan imitasinya, jadilah diartikulasi ulang menjadi “Persekot”. Makna aslinya adalah deposit, uang muka atau pembayaran in advance. Dalam bisnis, ‘persekot’ masih sesuai digunakan dengan makna yang sama dengan makna aslinya. Tapi, dalam pergaulan, terjadi bias makna ‘persekot’ –yang ternyata juga diakomodasi dalam kamus besar Kampung Kompeni: uang lelah alias gaji –yang dibayar di muka.
Dasar orang Kampung Kompeni, belum kerja saja sudah minta uangnya duluan. Belum juga lelaah.
Kalau lelah, Hayati juga lelah, Bang…