Persekot

1 min read

Pagi-pagi, Marsose datang menemui Cing Aji di warung kopi yang ternyata juga menjual teh manis, kacang ijo, ketan item, kue lupis, pisang goreng, ubi goreng, dan segala goreng-gorengan yang penuh lemak jenuh karena minyaknya merupakan minyak super yang tidak perlu diganti kayak pemain sepakbola yang sering kecapekan sebelum habis pertandingan. Niat dan maksud kedatangannya kepada Cing Aji tidak lain dan tidak bukan, kecuali mengharapkan keridhoan, eh… pertolongan. Marsose mau jual motornya yang sudah tua dan kali ini Cing Aji diharapkan bisa membantu. Barangkali Cing Aji tahu trik menjual barang second (baca: seken) lewat internet.

“Boleh, Sosee. Entar ane bantu jualin. Asal ente ngerti dah, kudu ade persekotnya.”

 

Marsose marah. Marsose yang jual, kok Marsose juga yang kudu bayar persekot?

 

Orang di Kampung Kompeni mendengar kata “Voorschot” [B. Belanda] dari orang Belanda langusng. Tapi, gegara telinga sama mulut rada jauh kemampuan imitasinya, jadilah diartikulasi ulang menjadi “Persekot”. Makna aslinya adalah deposit, uang muka atau pembayaran in advance. Dalam bisnis, ‘persekot’ masih sesuai digunakan dengan makna yang sama dengan makna aslinya. Tapi, dalam pergaulan, terjadi bias makna ‘persekot’ –yang ternyata juga diakomodasi dalam kamus besar Kampung Kompeni: uang lelah alias gaji –yang dibayar di muka.

 

persekot
Sumber: https://twitter.com/hashtag/persekot

 

 

Dasar orang Kampung Kompeni, belum kerja saja sudah minta uangnya duluan. Belum juga lelaah.

 

Kalau lelah, Hayati juga lelah, Bang…

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan