Kado Terindah

4 mins read

Gambar

Pekan lalu tepat usia saya 27 tahun berdasarkan akte lahir. Panjang kisahnya bila saya ceritakan pada tanggal berapa sebenarnya saya lahir. Mami –begitu saya memanggil ibu saya, tidak mengingat dengan jelas kapan saya tepat dilahirkan. Riwayat yang saya dengar dari lisannya, tanggal lahir saya dimundurkan karena menghindari pilihan untuk membayar denda atas keterlambatan registrasi yang mahal bagi orangtua saya saat itu. Tidak terbayangkan di kepala saya tentang kesulitan yang mendera orangtua kala itu, lantas membesarkan saya sebagai anak mereka yang kesepuluh. Pelan saya beranjak dewasa dan memiliki keinginan sederhana: menjadi guru seperti Ayah. Tidak lebih dari itu.

Usia keduapuluhtujuh; dan saya tak sanggup mengucapkan terima kasih langsung kepada mereka yang mendewasakan, yang membuat saya dapat terbang jauh dari halaman rumah sendiri. Saya bukan sesiapapun tanpa doa dan kerelaan mereka. Ayah dan Mami tak pernah memberikan kado ulang tahun –dan mereka memang tak perlu lagi memberikan kado apapun. Kado mereka bagi saya adalah kehidupan mereka, kesehatan mereka, dan kerelaan mereka –yang itu pun tak akan pernah saya sanggup membalasnya.

Hanya ada perbincangan sederhana dengan istri saya pekan lalu. Apa yang semestinya disyukuri, juga apa yang seharusnya dibenahi. Anak yang sehat dan sempurna meski didahului oleh kehamilan yang tak sepenuhnya mulus. Ia menjadi permata bagi kami, juga bagi kakeknya yang sering kesepian di rumah. Studi kami berdua yang, Alhamdulillah, terus berjalan meski ada rintangan yang menghalang di sana sini. Orang-orang yang datang belakangan dan ikut sibuk membantu kami, juga keluarga terdekat. Tak terhitung nikmat itu meski kami tak pernah benar-benar menyatakan permintaannya kepada Allah.

“Apa benar Allah perlu tahu apa yang kita inginkan?” Begitu kata istri saya di sela-sela perbincangan kecil itu. Ya, cukup keberkahan saja yang dipinta. Tidak lebih. Bertambahnya kebaikan dari waktu ke waktu. Yang kami miliki hari ini tentu tidak seberapa dibandingkan apa yang dimiliki kawan-kawan kami yang lain. Menengok besaran honor mengajar tentu bukan pilihan karir cemerlang. Tapi, saya lantas teringat cita-cita masa kecil untuk bisa seperti Ayah –menjadi guru dan merengguk keberkahan ilmu.

Ayah tidak masuk dalam logika manusia ketika ia bisa menyekolahkan anak-anaknya dengan gaji yang sedemikian kecil. Tunai sudah air mata mereka ketika bercerita tentang baju yang dijual Ayah ke pasar. Tak ada uang saat itu. Ayah berjalan kaki ke pasar dan membawa baju yang sekiranya bisa dijual. Hingga kami, anak-anaknya, bisa bersekolah lebih tinggi dari yang pernah ia kecap. Sungguh, satu-satunya yang Ayah khawatirkan adalah sekolah anak-anaknya.

Ayah adalah guru kami di keluarga sebelum menjadi guru bagi anak-anak yang lain. Kami tak tahu seberapa banyak muridnya sekarang –yang saya rindukan kedatangan mereka setiap kali lebaran. Ya, murid-muridnya perlu hadir untuk sekadar menerbitkan kembali semangat Ayah, juga semangat kami untuk mencintainya lebih besar lagi. Kami yang dibesarkannya dengan penuh kasih sayang belum juga mampu merawatnya di masa tua seperti ia mengasihi kami semasa kecil. Ayah yang merawat luka kami ketika jatuh dan berdarah, menggerus obat yang belum mampu kami telan, juga membawa ke dokter setiap kali demam yang tak turun-turun. Kami bahkan lupa di mana kami ketika kaki Ayah terluka, berdarah, atau bernanah; seberapa peduli kami pada Ayah yang tak bisa menyuntik obatnya sendiri; juga seberapa sigap kami membawa Ayah ke dokter ketika keluhannya tak juga membaik. Tidak, tidak setetes pun kami layak dibandingkan dengan Ayah. Ayah menjaga kami untuk tumbuh dan berkembang, sedangkan kami menjaganya dalam keadaannya yang terus melemah.

Dari kejauhan, saya titipkan orang-orang yang saya cintai kepada istri saya: Birru, Ayah dan Mami. “Bagaimana mungkin Ibu tidak menjaga Ayah yang sudah menjaga Buya sejak kecil,” jawab istri saya. Melelehlah air mata saya. Itu kado terindah. Terindah.

Rotterdam, April 2013.

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan