/

La La Lan… Jalan Menuju Tuhan

11 mins read

 

Kami berboncengan motor ketika istri saya –yang duduk menyamping di belakang dengan rok panjangnya memutuskan untuk ikut ke Hotel Borobudur. Itu kali kesekian saya melamar beasiswa untuk mengambil program master setelah berkali-kali aplikasi saya ke beberapa penyandang beasiswa ditolak. Dua kali Stuned, dua kali NFP, satu kali World Bank, dua aplikasi ke Open Society Foundation, dan satu kali Dikti. Begitulah memang nasib lelaki yang sebenarnya tak punya prestasi ini, tapi berkepala batu untuk sekolah ke luar negeri. Ah, bukan keluar negeri, tetapi ke Belanda. Hanya Belanda –yang entah mengapa sudah terpenjara di alam bawah sadar sejak saya SMA. Berkali-kali orang bertanya, “Kenapa bukan ke Amerika?” Tak tahu, sebenarnya, tetapi saya mencoba mencari-cari alasan sebanyak-banyaknya. Yang saya ingat, saya pernah menulis satu puisi semasa SMA, “Kekasih dari Belanda.”

 

Dan kekasih itu –yang saya temukan sebagai jawaban dari doa-doa saya semasa di Belanda, duduk di samping saya. Menasihati kecil untuk tenang sambil mengelus-elus perutnya yang membuncit. Saya berkali-kali melihat perutnya. Jika beasiswa saya diterima, saya meninggalkan istri saya melahirkan sendiri di Jakarta.

 

Momen itu kembali saya ingat ketika saya dan istri menonton Sebastian dan Mia di ‘La La Land’ –film yang membuat saya teringat banyak hal yang sejatinya tidak mungkin saya lupakan. Kebanyakan tentang mimpi yang ditunggu-tunggu kapan datangnya, sebagian lagi adalah pergolakan –yang justru datang ketika mimpi itu sudah di depan mata. Kegagalan Mia tentu lebih banyak, tapi dukungan istri saya juga lebih banyak daripada Sebastian kepada Mia.

 

Nama saya dipanggil untuk bersiap-siap masuk wawancara. Pintu berukir di ruangan hotel dari kayu itu nampak begitu besar. Jauh lebih besar dari pintu ruangan tempat wawancara sebelumnya di hotel berbintang dua atau tiga di Raden Saleh. Saya gemetar. Saya tahu ada campuran khawatir tak diterima lagi, juga was-was jika kemudian diterima. Sampai kemudian nama saya dipanggil, istri saya melepas tangannya dari genggaman saya. “Adek shalat dhuha dulu,” katanya sambil melepas dan mengelus pundak saya.

 

“Ahmad Fuady. Meja 4.” Suaranya menyalak. Mungkin belum sempat ambil break karena sibuk mengatur ratusan pelamar yang berjejalan di luar.

 

Saya tidak sibuk mencari karena meja 4 tepat sejurus lurus dari pintu masuk. Meja kotak dengan taplak warna hijau dan putih. Dua lelaki duduk di sana, sibuk mencari-cari dokumen sambil berbincang kecil. Perawakan yang satu lebih besar dari yang lainnya. Rambut yang satu pun lebih lebat dari lelaki sebelahnya yang mulai membotak. Saya maju, berharap bisa duduk di kursi dengan tenang. Dan, sebelum benar-benar duduk sempurna di kursi, mata kami beradu.

 

“Ah, Ahmad Fuady? Sudah diurus dokumennya yang saya suruh kemarin?” Tanya lelaki yang perawakannya lebih besar itu sambil tertawa.

 

“Alhamdulillah, sudah.”

 

“Nah, begitu. Sudah siap sekolah? Ada yang mau ditanya?”

 

Tidak ada wawancara sama sekali. Dua orang yang duduk di depan saya adalah dua orang yang sama persis ketika mewawancarai saya sekitar dua bulan sebelumnya. Mereka sudah tahu saya, sudah berbincang lebar di kesempatan lalu. Studi saya, alasan saya, rencana masa depan, termasuk keluarga saya, semua sudah habis ditanya. Hanya satu yang membatalkan keputusan beasiswa saat itu: status kepegawaian. Maka, bisik mereka baik-baik, “Ada bukaan beasiswa unggulan, kira-kira dua minggu lagi. Kamu masukkan saja lagi ke situ. Mudah-mudahan bisa lewat situ.”

 

Sip, kata mereka. Saya dipersilakan keluar. Tak lama kemudian, istri saya terkaget-kaget karena mendapati saya sudah duduk di luar ruangan lagi. Saya memegang tangannya erat-erat. Menyadari banyak hal yang berkeliaran di luar kalkulasi manusia.

 

Ketika banyak yang bertanya , “Apa resep lolos beasiswa?” saya tidak punya jawaban yang lebih baik, kecuali restu dari orang-orang yang dicintai. Orangtua yang bersedia rela hati melepas, juga pasangan –yang semuanya tak berhenti berdoa untuk kebaikan kita. Selebihnya, urusan teknis administrasi. Kecerdasan, keluasan pengetahuan, dan terangnya rencana masa depan memang penting, tetapi bisa jadi bukan faktor yang paling menentukan. Apalagi kesombongan. Jangan sekali-kali kesombongan itu tampak dalam tulisan aplikasi dan wawancara.

 

 

Saya tahu –seperti Sebastian memberi tahu Ema: ketika kamu sudah berhasil menggapainya, kamu akan bersiap mengorbankan semuanya. Birru lahir, dan saya hanya bisa melihatnya dari layar komputer, menitipkan adzan ke telinganya dari jauh. Berat, memang. Tapi, saya mengerti bahwa beban istri saya jauh lebih berat. Tidak ada janji yang lebih kuat saat itu, kecuali mendampinginya di kala persalinan berikutnya -jika Allah kehendaki.

 

Menunggu Birru berusia 40 hari juga bukan hal yang mudah, meski setelahnya saya akhirnya pulang ke Jakarta dan menggendongnya untuk kali pertama. Kami membawanya tiga bulan ke Belanda, meredakan rindu yang tertahan sekian lama. Melepasnya kembali ke Jakarta setelah tiga bulan –masa maksimal kunjungan yang diperkenankan, adalah mula kerinduan berikutnya. Saya tak ingin kehilangan banyak waktu tumbuh kembangnya. Anggaplah itu dorongan yang kemudian membuat saya lulus dua bulan lebih cepat dari jadwal semestinya.

 

Sebelum kembali ke Jakarta, saya meletakkan mimpi lagi. Mencari professor yang bersedia mengawasi studi doktoral saya. Sekali berjumpa, saya tawarkan proposal kecil dan beliau menerimanya.

 

 

Birru tumbuh membesar. Dan mimpi itu harus berbagi ruang lebih lebar dengan keluarga yang juga tak lagi hanya saya dan istri. Ada Birru yang sekarang harus juga dimasukkan dalam beragam pertimbangan. Saya mungkin lupa tentang jawaban dari segala impian yang lalu. Kembali mengajukan aplikasi beasiswa –kali ini untuk S3, dan kembali melalui banyak penolakan. Mulai dari status kepegawaian, keharusan berbakti pada institusi, hilangnya skema pendanaan beasiswa unggulan, dan error-nya koneksi internet. Saya mengubah haluan ke LPDP yang tengah naik daun. Dua kali seleksi administrasi saya gagal sampai akhirnya masa berlaku sertifikasi IELTS saya hangus dan harus mengambil ujian dengan persiapan pas-pasan karena deadline yang mepet. Dalam hal ini, “Yang penting lolos” adalah azimat sakti penawar kecewa.

 

Istri saya di ambang kelulusan spesialisnya. Maka, saya meminta professor untuk membuat ulang letter of acceptance (LoA) agar pas waktunya. Pas ketika istri saya sudah selesai dengan badai tesis dan ujian board-nya, dan pas dengan tenggat masa antara seleksi dan mulai sekolah yang disyaratkan LPDP.  Alhamdulillah, professor saya baik hati meskipun saya dua kali meminta pengunduran jadwal mulai program.

 

Kali itu, istri saya tidak mendampingi lagi. Hari kerja –dan rumah sakit yang sibuk dengan bermacam-macam akreditasi itu masih menunggu jerihnya. Pantang pulang sebelum rekam medis lengkap, kata Sang Rumah Sakit. Birru saya antar ke sekolah sebelum saya mencari-cari gedung wawancara di kampus UNJ yang jaraknya selemparan batu dari rumah. Berkah –karena tempat wawancara yang diubah dari semula di kampus STAN yang membayangkan jaraknya dan kemacetannya saja saya tidak sanggup.

 

Ada ribuan orang, barangkali. Saya hanya mengenal beberapa –dan yang saya kenal itu kebanyakan adik-adik kelas sendiri. Saya tahu saya tak berbekal apapun. Sebenarnya bertebaran banyak pengalaman penerima beasiswa yang lalu di dunia maya tentang proses seleksi, tapi saya tidak mengulik sedikit pun. Apa itu leaderless group discussion (LGD) pun baru saya dengar beberapa menit sebelum masuk ruangan. Saya tidak tahu apa yang dinilai. Orang lain mungkin bisa berhipotesis, menerangkan banyak hal bahwa harusnya begini dan begitu. Saya hanya berusaha mengingat istri saya dan Birru, juga Mami dan Ayah.

 

Dan, nama saya pun tertera di monitor yang berarti saya harus bersiap diwawancara. Kali ini mejanya sulit saya temukan karena ada banyak meja yang tersebar. Satu orang menunjukkan meja saya dengan tiga orang pewawancara. Mereka memperkenalkan diri. Dua guru besar, satu psikolog. Hanya ada dua pertanyaan.

 

Pertama, “Kamu dulu sekolah di Belanda, dan sekarang ke Belanda lagi?” Saya mengiyakan.

 

Kedua, “Sudah PNS?” Saya menggeleng. Masih CPNS. Lalu mulailah wejangan. “Urus prajab secepatnya.”

 

Selesai. Dua guru besar itu selesai. Saya tak tahu itu pertanda baik atau buruk. Bola dialihkan ke psikolog yang tertawa-tawa, kemudian bertanya ke sana ke mari dengan bahasa Inggris. Selesai. Saya dipersilakan pulang. Belum seberapa jauh, saya mendengar mereka berbincang, “Cepat nih, cuma 22 menit.” Dan saya masih tidak tahu, itu pertanda baik atau buruk.

 

 

Sampai akhirnya tiga minggu setelah itu, sebuah surel masuk. Saya tersenyum.

 

Kalau Anda berharap akhir ceritanya ini mirip Sebastian dan Mia yang berpisah, kami tidak berpisah. Dan jangan berharap demikian. Kami berkumpul lagi di sini, menyusun puzzle-puzzle mimpi yang entah kapan terasa lengkap. Karena bagi kami, belajar bukanlah pencapaian. Ini adalah jalan. Jalan menuju Tuhan.

 

Rotterdam, Januari 2017

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan