/

Wajib Belajar, Belajar Apa?

6 mins read

Meminta liburan dari sekolah bukan hal mudah di Belanda. Kami harus berkonsultasi dulu dengan guru kelas Birru, menuliskan form permohonan ijin dari sekolah, ditandatangani oleh kepala sekolah, lalu dikirimkan ke pemerintah lewat Gementee (semacam kantor Walikota) untuk mendapat persetujuan. “Umurnya belum lima tahun,” kata Kepala Sekolah, “Jadi dia masih bebas meminta liburan.” Beda urusannya jika usianya sudah menginjak lima tahun. Anak saya itu, juga akan jadi “Anak Negara”.

Ya, “Anak Negara”. Semua perkara hidupnya diatur oleh negara, termasuk sekolah. Dia tidak boleh ijin dari sekolah tanpa alasan yang jelas dan disetujui oleh sekolah dan pemerintah. Jika bandel, sekolah dapat dengan geram melaporkannya dan pemerintah akan memberinya denda. Kolega saya sempat bercerita tentang temannya yang belum mengerti konsekuensi ‘bolos’ sekolah dan mendapat denda 2000 Euro untuk sepekan tak masuk sekolah tanpa kabar.

Negara sudah memberikan hak pendidikan bagi masyarakatnya sebesar yang negara mampu. Negara memberikan subsidi pendidikan dasar dan menengah pertama, setara SD dan SMP di Indonesia, baik untuk sekolah publik maupun swasta. Tak ada biaya wajib, alias gratis. Sekolah hanya meminta uang tahunan sukarela dengan kisaran 20-80 Euro per tahun, bergantung kebijakan sekolah masing-masing. Lebih murah dari sekali belanja sepatu dan baju di mal! Di sekolah menengah, uang tahunannya akan meningkat sekitar 400-900 Euro per tahun. Itu pun seringkali sudah termasuk biaya ‘study tour’ ke negeri sebelah semacam Inggris.

Belum lagi tunjangan-tunjangan lain. Pemerintah akan mengucurkan tunjangan anak sesuai usia dan tahapan sekolah per tiga bulan, memberi asuhan persalinan dari bidan seminggu penuh secara gratisan, menyuruh vaksin lengkap dan pemeriksaan rutin anak sekolah tanpa bayar, dan menyediakan akses gratis di seluruh penjuru perpustakaan bagi anak-anak. Dengan begitu, mereka merasa berhak “menuntut” anak-anak untuk bersekolah. Bukan kecaman, sesungguhnya. Tapi, negara harus memastikan bahwa semua anak mendapatkan  pendidikan yang layak dan memampukan mereka survive dalam kehidupan selanjutnya.

Maka, kurikulum pun dibuat mengikuti kebutuhan tanpa harus dikompetisikan sejak dini. Tak aka nada juara olimpiade cilik dari Belanda. Nihil. Negara lebih fokus untuk membangun sistem pendidikan yang mampu mengidentifikasi kemampuan siswa dan membantunya mencapai potensi terbaik dalam hidupnya. Maka dibuatlah system pendidikan dasar dan menengah, dan WAJIB BELAJAR hingga usia 16 tahun (sekolah penuh) dan 18 tahun (sekolah plus kerja part time).

sistem belanda
Sistem penjenjangan pendidikan di Belanda. Diambil dari: www.nuffic.nl

Tidak semua anak harus menjadi pintar secara kognitif, menguasai matematika dan ilmu alam dengan sempurna, atau menjuarai lomba akademik berturut-turut. Maka, ujian tulis akhir sekolah bukan satu-satunya penentu ke mana mereka bersekolah selanjutnya. Ada penelusuran potensi yang membuat mereka kemudian terbagi menjadi tiga jalur: masuk VWO (pendidikan persiapan masuk universitas – selama enam tahun), HAVO (sekolah menengah atas umum – selama lima tahun), atau VMBO (pendidikan persiapan vokasional –selama empat tahun).

Sistem pendidikan yang baik akan membantu mereka menyiapkan hidup selanjutnya. Tidak semua harus masuk jenjang universitas, lulus S1, S2 atau S3. Tentu, ada banyak yang tak mampu secara akademik mencapainya, maka sistem dibuat beragam sesuai kebutuhan. Sebagian dari mereka akan siap dan potensial menjadi ilmuwan hingga S3, sebagian lagi diarahkan mencapai sarjana muda atau diploma, dan sebagian yang lain akan lebih berkembang jika masuk pendidikan vokasional. Yang satu lebih superior dari yang lain? Tidak juga.

Kita tak dapat membayangkan anak yang punya dominasi keterampilan kerja harus dipaksakan masuk sekolah dengan fokus pembelajaran akademik untuk persiapan masuk universitas. Bukan saja akan tercecer di belakang, kemungkinan ia menghadapi setumpuk masalah dan melampiaskannya dengan perilaku negatif. Hasilnya, tidak akan maksimal –lalu ia dianggap sebagai ‘sampah’ yang membuatnya merasa rendah diri. Padahal, setiap personal punya karakteristik dan potensi masing-masing yang tidak selalu harus diseragamkan.

Mereka akan punya wilayah pekerjaan masing-masing, dengan standar penghasilan yang juga diatur oleh negara agar setiap warganya mampu hidup dengan layak. Kalaupun belum juga layak, negara akan datang membantu mereka dengan tambahan subsidi. Ketimpangan diatur, bukan dipelihara.

Wajib belajar, oleh karenanya, tidak semestinya dipandang sebagai sekadar ‘kewajiban’ bagi warga negara untuk sekolah, menuntut mereka masuk sekolah, dikejar-kejar, dan dijadikan target tahunan dinas pendidikan. Semua harus punya ijazah SMP, atau SMA, bahkan D3 atau S1, tanpa memahami apa yang diharapkan dari segala macam ijazah itu. Para pemberi kerja pun mensyaratkan pelamarnya membawa kopi ijazah A, B dan C, tak peduli keterampilan apa yang dibutuhkan atau mereka punya.

Sistem pendidikan harus keluar dari pola pikir pembuatnya yang usang. Ia harus menjadi lebih filosofis: Memenuhi Hak Masyarakat untuk Bersekolah. Pendidikan harus membuat mereka sanggup meniti hidup dan membantu mereka mencapai potensi maksimal dari yang bisa dicapainya. Bukan sekadar merapalkan apa yang dibaca dari buku sekolah wajib –yang dijadikan obyek proyek setiap tahun. Bukan juga mendesak-desak murid belajar keras dan mengambil les sore-malam agar lulus ujian nasional yang entah buat apa indikator pada angka-angka yang berderet menurun itu.

Negara, dalam hal ini, memang harus turun tangan sepenuhnya. Memastikan semua terpenuhi, baru kemudian dapat mengatur seenak jidatnya sambil bilang: ‘Kalian kan anak negara‘. Kami tak akan protes.

Rotterdam, Syawal 1438

Foto fitur diambil dari: http://www.tribunnews.com/metropolitan/2013/09/24/jam-wajib-belajar-libatkan-masyarakat-sebagai-pengawas

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan