/

Anak Dokter Takut Dokter

17 mins read

Betapa malang anak lelaki saya ini. Bapaknya sibuk meneliti tentang tuberkulosis (TB), ia sendiri tak sempat divaksin BCG di negeri yang peringkat tuberkulosisnya tertinggi kedua di dunia. Pasalnya unik. Di usia ke-40 hari, ia kami culik ke Belanda yang gagap terhadap TB. Tiga bulan di Belanda, ia melewati masa puncak vaksinasi TB. Si kecil baru kembali ke Indonesia setelah usianya lebih dari empat bulan dan tepat ketika tes tuberkulin atau mantoux[1] hilang dari peredaran muka bumi pertiwi. Konsul kanan-kiri, depan-belakang, dan atas-bawah, jawaban yang didapatkan mendorong ke satu kesimpulan: sudahlah, tak perlu divaksin. Bahkan, jika divaksin pun di usia itu, efektivitasnya sudah turun di bawah 60%, menurut salah satu rujukan terkemuka yang akhirnya kami telan matang-matang.

Hampir empat tahun berlalu, tiba saatnya saya melanjutkan sekolah lagi dan balik kembali ke Belanda. Drama itu dimulai. Eng ing eeeng. Menjadi imigran dari Indonesia membuat kami harus melewati banyak perjanjian dengan De Gemeentelijke Gezondheidsdienst (GGD) – sebuah instansi pemerintah yang ditranslasikan secara harfiah menjadi The Municipal Health. Ya, mirip dengan Puskesmas. Hanya saja, Puskesmas di Indonesia sudah tercampur aduk antara program promosi kesehatan, pencegahan, sekaligus pengobatan. Tak mau kalah dengan mal –one stop shopping gitu lah. Bahkan, Puskesmas bangga sekali jika jejeran pintu dalam bangunannya ditempeli tanda dokter spesialis. Semakin banyak spesialisnya, semakin ramailah Puskesmas. Padahal di ujung bumi pertiwi yang lain, yang bertugas hanya seorang perawat., Itu pun harus keliling desa untuk mengumpulkan dahak, membuat apusan dahak (smear) sendiri, pergi naik perahu ke kota dan bermalam di sana, lalu pulang esok harinya, Tak usahlah diceritakan gajinya. Untung besarlah pokoknya…. dari Tuhan.

 

[Jangan melebar terlalu jauh. Mari balik ke masalah bocah ini,]

 

Imigran yang baru datang ke Belanda akan diminta ke GGD untuk diperiksa terkait potensi terinfkesi TB. Mereka yang dewasa akan dijepret di depan alat rontgen secara simultan: bulan pertama kedatangan, enam bulan kemudian, dan setahun kemudian. Bagi yang suka selfie, di GGD ini mereka tak perlu bayar. Foto gratisan. Foto toraks[2], namanya. Sayangnya, foto hanya bisa dinikmati dalam warna hitam-putih. Tidak bisa dibuat berwarna meskipun sudah dibawa ke tukang fotocopy berprinter dengan selang tinta warna-warni atau ke Snapy sekalipun yang harganya super mahal sambil bilang, “Mas, di-print warna, ukuran A3!” Bagi anak-anak, perlakuannya berbeda. Orangtuanya akan ditanya apakah sudah mendapatkan vaksin BCG atau belum. Jika belum, seperti anak saya, maka akan disodori jadwal tes mantoux –yang kali ini tersedia melimpah ruah dan gratisan. Dua kali, Bro!

Anak saya ini, meski kedua orangtuanya dokter, tak pernah suka dengan dokter. Karena yang diingatnya sejak kecil hanya perkara suntik-menyuntik. Kalaupun bukan suntik, ya khitan. Untunglah kami ini lebih dikenalnya sebagai orangtua ketimbang sebagai dokter. Bahkan, mungkin dia sudah lupa kalau bapaknya ini dokter. Lebih sering ngajar iqro daripada duduk di depan pasien sih.

Sejak pertemuan pertama di GGD itu, saya turut mengasihani anak saya, Setiap kali ia bertanya, “Mau ke mana kita?”, kami jawab, “GGD”. Awalnya, ia tak tahu apa itu GGD. Maka, ia bertanya lebih dalam; macam dokter bertanya mengulik-ngulik riwayat sakit pasien. Pertanyaan tertutup dikombinasi dengan pertanyaan terbuka. Mantap sekali lah anak ini. “GGD itu apa?” [Itu pertanyaan terbuka]. “GGD itu yang kita ketemu dokter?” [Itu pertanyaan tertutup]. “Aku nggak mauuuu…” [Itu menutup diri]

Gedung GGD Rijmond. Sumber: http://www.yelp.com

Di luar ketidaksetujuan anak kami, sistem undangan dan pemeriksaan kesehatan semacam ini memang sudah semestinya dilakukan. Mereka yang belum divaksin harus diundang datang. Vaksin disediakan secara gratis dan berkualitas, bukan sekadar program wajib untuk memenuhi borang laporan untuk mencapai target bulanan, triwulanan, atau tahunan yang dilaporkan ke dinas kesehatan. Kalau si anak (dan orangtuanya) tidak datang, ya mesti dicari dan ditelusuri. Kalau perlu, dinasehati dan diomel-omeli.

Sampeyan itu ngerti ndak sih, kalau sakitnya menular ke orang lain, sekampung bisa ikut sakit, bisa balik lagi ke sampeyan, kumannya bisa kebal. Lebih kebal dari Limbad, sampeyan ngerti? Sakit sampeyan ini bakal tambah parah. Kalau parah, duit negara habis, bis, bis, terkuras, dan kalau sudah habis, sampeyan minta duit ke siapa?

Begitu kalau kader tuberkulosisnya die hard. Tukang omel dan bermulut baja. Tidak ada kesempatan untuk menangkis serangan. Pokoknya, iya-in aja.

Tapi, kebanyakan orang justru merasa malu kalau terkena tuberkulosis. Minder. Bahkan, kalaupun Puskesmas-nya ada di seberang rumah, ada saja yang memilih jalan memutar, mengendap-endap, melewati aral melintang, ribuan onak dan duri, demi tidak ketahuan oleh tetangga. Ya, masyarakat kita masih menganggap tuberkulosis sebagai penyakit memalukan, layak dijauhi, tidak perlu diterima di tempat kerja, kalau perlu dikeluarkan, atau jangan pernah dikasih beasiswa. Pfiuh… Padahal, tuberkulosis dapat diobati. Obatnya tersedia gratis di layanan kesehatan yang bermitra dengan layanan Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS). Janganlah pergi sendirian untuk beli obat ke apotek langsung atau ke tukang obat. Meskipun sehat dan sembuh itu wilayah otoritas Tuhan, ikhtiar tetap harus benar, rasional, logis, dan ilmiah.

Sekali anak saya disuntuk tuberkulin, kami harus melakukannya lagi tiga bulan kemudian. Uniknya, tepat beberapa hari setelah kami registrasi di kantor walikota, surat datang dari arah yang tidak diduga-duga. Ada permintaan sertifikat dengan todongan pertanyaan: “Hey, anakmu sudah divaksin apa saja?” Kami yang tak pernah punya sertifikat vaksinasi selama di Indonesia sebagaimana sertifikat wisuda TK (plus dandanan menor ala-ala wisuda sarjana), lomba mewarnai, lomba tujuh belasan, apalagi manasik haji, sibuk mencari-cari catatan vaksin yang tertinggal di Indonesia. Jeprat-jepret, bubuhi tulisan bahasa Inggris ala kadarnya, dan dikirimkanlah ke pemerintah untuk menerima balasan yang membuat perut kami mules lagi membayangkan suntikan-suntikan berikutnya.

 

uitnodiging_a5_opendag_pralexander_2010-1
Salah satu pamflet CJG. Sumber: http://www.bo7kamp.nl

 

Ya, surat itu datanglah juga. Kali ini dari Centrum voor Jeugd en Gezin (CJG) yang berarti Center for Youth and Family. Tidak ada padanan yang pas dalam bahasa Indonesia. Pusat Pemuda? Nanti dikira Karang Taruna. Pusat Keluarga? Nanti disangka tempat penyuluhan KB. CJG ini bagian dari instansi pemerintah yang mengurusi kesejahteraan keluarga dan anak-anak muda sedari balita secara komprehensif. Ia rutin mengirimkan surat dan memanggil anak-anak sesuai usianya untuk pemeriksaan kesehatan tahunan, mendapatkan vaksin, dan penyuluhan kesehatan lainnya. Boleh dibilang semacam Posyandu dengan lima meja terkenalnya itu. Tapi, jika Posyandu itu tak mampu memaksa orangtua datang untuk diperiksa dan baru sanggup mengiming-imingi dengan bubur kacang ijo, ketan item, dan demo masak kecil-kecilan, CJG akan terus menyurati orangtua berkali-kali sampai si orangtua datang. Mirip-mirip polisi yang doyan melayangkan surat panggilan kesatu, kedua, dan ketiga sambil berharap-harap asyik bisa memanggil paksa sehingga terkesan di televisi sebagai aksi heroik.

Surat itu adalah pemanggilan itu untuk tiga vaksinasi yang wajib dilakukan di Belanda. Kok beda dengan di Indonesia? Ya, beda karena setiap negara memiliki beban epidemiologi penyakit yang berbeda. Mereka melakukan penelitian dan melihat masalah penyakit infeksi apa yang dominan dan perlu tindakan pencegahan yang diselenggarakan secara publik dan mengikat. Penolakan? Bukan hanya di Indonesia yang punya kelompok anti-vaksin yang tersebar mulai Cilebut sampai Cibubur, dari Kuningan Cirebon sampai Kuningan Rasuna Said. Amerika punya kelompok fanatis sendiri, seperti juga di Belanda yang punya Bible Belt –area yang secara geografis membentuk ikat pinggang dan dihuni penganut Protestan konservatif yang menolak vaksinasi. Jadi, kalau ada kelompok yang menganggap vaksinasi sebagai upaya pelemahan agama tertentu dan bagian dari konspirasi Wahyudi, kapan-kapan boleh diajak plesiran agak jauh dikit. Kata artis instagram, “Kurang Piknik”. Sekali-kali memang jangan terlalu genit googling  dan copy-paste. Apalagi, like, share, dan subscribe doang. Baca lah yang seriusan dikit.

 

bible-belt
Ilustrasi geografis Bible Belt di Belanda dengan parameter vaksinasinya. Sumber: http://www.zorgatlas.nl

 

 

Anak lelaki saya itu akhirnya dirayu sedemikian rupa untuk bisa pergi ke CJG untuk mendapat tiga vaksin bombastis –yang kalau di Indonesia, Anda harus merogoh kocek sampai kantong Anda bolong sebenar-benarnya bolong: DKTP-HepB (Difteri, Kinkhoest [Pertusis], Tetanus, Poliomyelitis, plus Hepatitis B), MenC (Meningococcal C), dan  BMR (bof, mazelen and rodehond alias MMR). Combo hits! Di jalan, dia sudah bertanya-tanya seolah bapak-ibunya menyimpan misteri yang tidak boleh dibuka sampai dia dewasa. Untunglah, sebelum vaksin, ada waktu lumayan panjang karena ia diperiksa tinggi badan, berat badan, dan penglihatan. Nah, penglihatan ini yang masih luput dikerjakan di Indonesia tercinta. Dengan pola tempat duduk kelas, ada anak yang ‘menjadi tampak bodoh’ karena duduk di belakang, padahal bisa saja karena penglihatannya terganggu dan sudah semestinya menggunakan kacamata. Apalagi, dengan makin seringnya anak-anak terpapar gawai (gadget) yang dipelototi dari subuh sampai isya dan dianggap sebagai obat mujarab penawar kecengengan karena bapak-ibunya juga sibuk dan doyan melototi gawai sambil ketawa-ketiwi sendirian.

Akhirnya, kami masuk ke ruang dokter. Ada dua dokter perempuan, masih muda. Mungkin lebih muda dari kami. Satu dokter sudah pegawai tetap non-PNS (#halah), satu lagi pegawai magang yang dikader melanjutkan estafet sang dokter senior. Kalau kami mau, kami pun ditawari praktik di CJG itu yang juga sedang membuka lowongan dokter keluarga (huisart). Setelah mengobrol ke sana ke mari, menimbang manfaat dan mudharatnya, kami memutuskan dengan berat hati untuk langsung menyuntik TIGA vaksin itu di satu waktu. Satu di lengan kanan, satu di lengan kiri, satu di paha kanan. Dan, tak usah dibayangkan bagaimana prosesnya. Tangan saya mendekap badan si kecil, kaki saya memiting pahanya, dan anak saya –tentu saja, menangis sekuat tenaga. Untunglah, ia anak yang kuat. Tangisannya hanya bertahan sebentar. Mereda ketika ia lihat banyak mainan yang tersedia di CJG dan kami menghabiskan waktu sore hari di sana untuk mendamaikan hatinya yang kisruh dan semrawut.

 

whatsapp-image-2017-02-13-at-23-27-36
Periksa mata dengan piraat brill (kacamata bajak laut) yang bikin anak-anak senang. Berasa jadi Kapten Hook.

 

Lagipula, kami mengerti bahwa tangisannya harus dihemat. Karena dua hari lagi, anak lelaki saya itu harus disuntik tuberkulin lagi. Tiga hari setelahnya, ia dijadwalkan mendapat vaksin BCG (jika hasil tes tuberkulinnya tidak bermasalah). Kali ini, Anda boleh membayangkan betapa sulitnya kami merayu ia ke GGD. Boleh dibayangkan juga. Saya memboncengnya di jok belakang sepeda, ia menangis sepanjang jalan, lalu turunlah hujan salju pertama di Belanda tahun itu di pertengahan jalan tepat di samping danau yang dinginnya minta ampun. Dan bercampurlah perasaannya antara haru melihat salju dengan tangis takut disuntik berkali-kali. Beuh… Ini tentu bukan bayangan kami seperti di film “Sang Pemimpi” waktu Ikal dan Arai norak pertama kali mandi salju.

 

“Lihat itu salju turun, Birruuu…” Saya berseru. Dijawabnya, “Nggak mau ke dokteeer.” Adegan yang kacau. Berantakan.

 

Drama pun berakhir sudah. Setelah suntik BCG, alhamdulillah, lengkaplah sudah LIMA SUNTIKAN dalam sepekan. Dan, usailah perkara suntik menyuntik yang melelahkan ini. Tapi, kelengkapan lima suntikan bukanlah akhir dari segalanya bagi anak kami. Di kepalanya –betapapun ia kalem member respons –sudah tersimpan memori yang membuatnya tak menyukai dokter, GGD, dan CGJ.

Lewat usianya yang kelima, kami mendapat surat lagi dari CGJ. Bukan pemberitahuan istimewa semacam undangan vaksin, tapi CGJ hanya memberitahu, “Kalau anak Anda butuh konsultasi, kami buka loh setiap hari Selasa.” Anak kami jelas tidak memerlukan konsultasi. Bapak-Ibunya yang butuh! Belakangan, anak kami itu menyetel televisi dengan volume yang tinggi. Saya ambil remote, turunkan volumenya. Ia mengambil remote pula, dinaikkan lagi volumenya. Remote pun akhirnya kami sita. Hanya kami yang punya otoritas mengatur volume. Tapi, di balik itu, kami juga khawatir ada masalah di pendengarannya. Maka, surat pemberitahuan CGJ itu semacam berkah di musim dingin, menghangatkan lagi harapan untuk dapat pemeriksaan berkualitas bintang lima dengan harga kaki lima (#halah). Eh, gratisan malah.

 

audiometri birru
Pemeriksaan audiometri di ‘Posyandu’.

 

Maka, datanglah kami ke sana: menceritakan keluh kesah dan gundah gulana. Si pemeriksa mengangguk-angguk. “Oke,” katanya, “kita periksa pendengarannya.” Audiometri. Walaupun anak kami itu familiar dengan earphone dan headphone keren, headphone ini tidak menarik hatinya sama sekali. Saya harus jadi teladan dulu. Ing ngarso sung tulodo, katanya kan. Maka, saya memakai headphone besar itu dan mencontohkan bagaimana memencet tombol jika mendengar suara. Akhirnya ia mau dan –tentu saja– pintar. Si pemeriksa senyum. Katanya, “Tak ada masalah.” Kami pun tersenyum lega.

Kali itu, kami tak pulang ke rumah. Si kecil diantar ibunya ke sekolah, saya berpisah menuju kantor.

Belakangan, anak lelaki saya itu boleh bangga. Dia bukan saja sudah disunat di usia jauh lebih muda daripada bapaknya, dia bahkan merasakan pengalaman suntik-menyuntik dan audiometri yang tidak pernah bapaknya rasakan untuk menjadi sekuat itu. Tapi, itu tidak mengubah persepsinya tentang dokter. Mungkin ia tidak takut seperti dulu. Ia hanya tidak suka –sedikit lebih rendah dari derajat benci. Kami lantas menduga-duga, mungkin dia tak lagi punya cita-cita jadi dokter seperti bapak-ibunya, apalagi jadi juru suntik.

Rotterdam, Februari 2017 –diupdate  Februari 2018

[1] Tes tuberkulin (tuberculin skin test) atau dikenal juga dengan tes mantoux adalah salah satu tes untuk menilai apakah seseorang pernah terinfeksi kuman tuberkulosis. Terinfeksi tuberkulosis belum tentu bermanifestasi menjadi penyakit. Di Indonesia yang kejadian tuberculosis-nya tinggi, orang dewasa bisa saja mendapatkan hasil positif dari tes tuberkulin, namun tidak disertai gejala khas tuberkulosis. Pada anak-anak, tes tuberkulin menjadi salah satu parameter diagnosis tuberkulosis. Bahkan, pada beberapa negara non-epidemi tuberkulosis, tes ini dijadikan satu-satunya alat diagnostik.

[2] Foto toraks: foto bagian dada dengan alat sinar X atau rontgen.

 

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan