Cing Aji lagi sibuk bukan kepalang. Anaknya yang ketiga mau disunat untuk yang, insya Allah, pertama kali dan sekali-kalinya ini saja. Marsose yang harus menjadi tetangga yang baik, sholeh dan suka menolong ikut terlibat dalam persiapan yang lebih mirip kawinan. Tenda dipasang, pelaminan disiapkan. Lebih-lebih, ondel-ondel dan delman sudah siap mengarak anak yang besok akan menempuh bentuk barunya itu. Hanya saja, tidak ada penghulu. Repot urusannya kalau sunat pakai ijab qabul, “Saya terima …..” Yang ada malah si anak jejeritan sambil tangan-kakinya dipegang dari tujuh penjuru mata angin.
Istri Cing Aji nyeletuk, “Ini nanti makannye prasmanan ape dibesekin[1] aje?”
Bagi yang doyan makan yang bisa diambil sendiri, pasti lebih suka prasmanan. Apalagi urusan kondangan. Cukup masukin duit sedikit di amplop, celupin ke kotak, bisa makan sepuasnya sambil putar-putar gazebo sampai lupa salaman dengan pengantin. Belum berhenti jika tujuan utama para mahasiswa berkantok cekak yang datang kondangan: break even point! Kalau sudah jadi pejabat, jangan hitung BEP, bisa muter-muter di situ sampai minggu berikutnya karena amplop yang dicemplungin kadung tebalnya minta ampun terkena tulah nasib jadi pejabat.
Makan ambil sendiri itu kebiasaan Fransman [B. Belanda], sebutan bagi orang Perancis dalam bahasa Belanda. Alih-alih disebut sebagai buffet, orang-orang di Kampung Kompeni lebih terbiasa menyebutnya sebagai makan Fransman-an, alias prasmanan. Makan gaya-gayaan ala orang Perancis, begitu.
Makanya, kalau nanti mau kondangan dan ditanya sama tetangga: mau ke mana? Bilang, “Mau ke Perancis!”
Gayaaaa…
[1] Besek [B. Betawi]: makanan yang disiapkan untuk dibawa pulang setelah kenduri