Berbeda, Bermain

4 mins read

Melihat lagi ke wajah Birru, saya ingat apa yang membuatnya nyaman berbagi dengan orang yang sama sekali berbeda dengannya: bermain dan tertawa. Barangkali itu yang kita lupa. Kita nampak terlalu serius untuk dunia yang –Tuhan pun menyebutnya, hanya senda gurau dan permainan.

diversity

Kami berangkat ke Belanda selepas idul Adha –momen yang begitu lekat menempel di kepala Birru. Ia tergila-gila dengan sapi, domba, dan penyembelihan keduanya. Maka, sebelum berangkat, kami berdiskusi kecil tentang penyembelihan kurban yang tidak akan bisa dilihatnya lagi nanti saat di Belanda. “Kenapa tidak ada potong kurban di Belanda?” tanyanya. Pertanyaan kenapa selalu sulit untuk dijawab. Panjang, sampai akhirnya dia memahami ada perbedaan antara Belanda dan Indonesia dan segala penyembelihan hanya diijinkan di tempat yang sudah ditentukan.

Ia belajar tentang perbedaan dari hal-hal kecil yang dilihatnya dan selalu diakhiri dengan pertanyaan ‘kenapa’. Kenapa rambutnya coklat? Kenapa sepedanya berjalan di sebelah kanan? Kenapa belum terang dan matahari belum tinggi (ketika sudah jam enam pagi)? Kenapa tidak ada air di toilet? Kenapa kita tidak naik mobil sendiri?

Kami duduk menunggu dipanggil antrean di Balai Kota waktu itu. Saya tersenyum saat ibunya meminta Birru menengok ke orang di sebelah saya dan bertanya apa warna kulitnya. “Hitam,” kata Birru. Yang di sebelah sana? “Putih”. Rambutnya? Matanya? Ia melihat banyak yang berbeda –bahkan, di sekolahnya. Juga tentang dirinya yang berbeda dengan banyak temannya.

Saya jadi ikut menerawang masa kecil kembali. Saya tidak begitu paham mengapa dulu semasa kanak-kanak, kami mengejek sesama kawan dengan sebutan suku mereka. Si X yang dari Jawa, dipanggillah ‘X Jawa’. Semakin menjadi-jadi ejekannya bila ternyata logatnya begitu kentara. Begitupun dengan mereka yang berasal dari Padang. Mungkin karena lingkungan Betawi yang relatif homogen di sekeliling sekolah waktu itu –seperempat abad yang lalu, yang membuat kami mengidentifikasi perbedaan dengan ‘ejekan’.

Homogenitas, di satu sisi, adalah keberuntungan. Mudah dikendalikan, dikontrol, dan diintervensi. Tetapi, pada sisi yang lain, ia menjadi momok –yang pada satu titik ekstrem memicu penolakan pada perbedaan dalam gradasinya masing-masing. Lalu, kita gagap dalam mengelolanya. Ini terjadi di banyak tempat, bahkan di negara maju, pada kelas menengah urban. Keberagaman lantas dirayakan dengan simbol kelompok ketika ruang kebebasan dan kesetaraan dibuka. Keragaman, terutama ras, kerap dimaknai dalam kuantitas sehingga istilah mayoritas dan minoritas gegap gempita.

Afinitas adalah sebuah keniscayaan dan setiap orang punya kebebasan memilih kepada siapa dan kelompok mana mereka akan condong. Tetapi sikap menghargai adalah kemutlakan yang harus dipenuhi. Ketidaksamaan tidak perlu dianggap sebagai tembok menjulang yang membatasi kita untuk dapat bekerjasama sehingga kita membuat kelompok-kelompok eksklusif yang saling menjaga jarak.

Rotterdam barangkali contoh menarik bagaimana multiras bercampur dan rekayasa social mixing berjalan lewat program City Safari-nya dua puluh tahun lalu. Ini bukan program interkultural yang kaku dengan tujuan membangun koneksi multikultur, tetapi menciptakan ruang hiburan yang dapat dinikmati bersama tanpa ada kejengahan antar satu dengan lainnya. Meski mungkin tidak cocok diterapkan di skala besar lainnya, misalnya Inggris, Perancis, atau Indonesia sekalipun, dasar penting sebagai pijakan adalah mencari kesamaan dalam perbedaan.

Kita telah lelah meributkan banyaknya perbedaan –di ruang kelas, kerja, RT, partai, juga negara. Kita lupa pada kesibukan mencari di mana kesamaan yang kita miliki.

Melihat lagi ke wajah Birru, saya ingat apa yang membuatnya nyaman berbagi dengan orang yang sama sekali berbeda dengannya: bermain dan tertawa. Barangkali itu yang kita lupa. Kita nampak terlalu serius untuk dunia yang –Tuhan pun menyebutnya, hanya senda gurau dan permainan.

Rotterdam, November 2016

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan