Tali Rafia Ayah

6 mins read

IMG_20160619_061737

Bagi anak-anak, lebaran adalah murni perayaan, juga hadiah. Entah sejak kapan kultur itu didedahkan. Yang saya pahami, orangtua saya berbagi tugas untuk memberikan hadiah kepada anak-anaknya yang masih kecil. Mami membelikan kemeja dan celana panjang, sedangkan Ayah membelikan sepatu, sarung, koko, dan kopiah.

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana mereka mengaturnya untuk anak-anaknya yang berjumlah sepuluh. Tentu, tidak kesepuluh anaknya diberi hadiah. Mereka yang sudah beranjak dewasa harus mengalah kepada adik-adiknya yang masih kecil. Yang menarik adalah cara Ayah membelikan kami hadiah-hadiah tersebut.

Ayah tidak punya mobil. Apa yang bisa diharapkan dari penghasilan guru SD lulusan muallimin dengan jumlah anak sebegitu banyak? Pun, ketika Ayah sudah mampu membeli mobil, Ayah tidak bisa mengendarainya. Jadilah ia pergi ke mana-mana dengan Vespa-nya –yang belakangan akhirnya ia jual setelah pensiun. Vespa itu yang menemani kami pergi ke mana-mana. Kadang berboncengan berdua, bertiga, berempat, atau berlima. Bergantung siapa saja yang diangkutnya. Posisi favorit saya selalu berdiri di depan –antara jok Ayah dan setir motor. Beberapa kali saya merajuk jika diminta untuk duduk di belakang –berhimpit antara Ayah dan Mami. “Dedy sudah ngantuk, di belakang saja,” kata Ayah. Saya manyun, tetapi tidak mungkin membantah. Toh, akhirnya di tengah perjalanan saya tertidur juga. Kalaupun bukan karena alasan mengantuk, pastilah karena oleh-oleh yang banyak sehabis pulang darmawisata lulusan SD. Ruang antara jok Ayah dan setir motor itu penuh dengan talas, pisang, atau bengkuang. Khas daerah Puncak saat itu –yang masih segar dan tidak macet.

Karena Vespa itu pulalah, Ayah memutar otaknya. Setiap lebaran, tidak mungkin anak-anaknya diajak serta ke pasar membeli hadiah. Maksimal tiga saja anaknya yang diajak. Bahkan, beberapa kali tak ada satupun dari kami yang diajak. Yang dilakukan Ayah kemudian adalah pergi ke dapur, mengambil tali rapia dan menghitung ukuran kami. Ayah mengukur panjang kaki kami dengan tali rafia untuk membeli sepatu, melingkarkan tali di kepala untuk mengira-ngira ukuran kopiah kami, juga merentangkan rafia selebar bahu kami untuk mencari baju koko yang pas. Rasanya berdebar-debar. Takut jika ukuran yang dibeli Ayah tidak sesuai.

Beberapa kali tepat pas, beberapa kali pula ukurannya tidak sesuai. Itulah nasib. Saya sudah hafal pilihan sepatu Ayah untuk saya setiap kali lebaran. Sepatu kulit warna hitam. Sepatu kulit, menurut Ayah, selalu lebih bagus daripada sepatu sport anak-anak yang bagi saya selalu mengkilat. Dengan tali rafia ukurannya, nyaris setiap tahun sepatu yang dibelikannya terlalu besar. Setiap kali begitu, saya merasa sedih. Tapi, Ayah menghapusnya dengan membawa gumpalan koran untuk diselipkan di ujung sepatu. “Udah pas, kan sekarang?” Saya masih ingat helaan nafasnya sambil berusaha tersenyum. Mana mungkin saya marah kepada Ayah. Apalagi saat Ayah melanjutkan, “Nanti juga Dedy kan tambah besar, nanti pas.”

Demikian begitu bertahun-tahun. Memaksa dan merajuk untuk ikut ke pasar pun rasanya bukan pilihan yang terlalu menyenangkan. Bagi anak-anak, pergi berbelanja ke pasar selalu melelahkan, kecuali jika memang untuk sesuatu yang sangat diidam-idamkannya. Seperti ketika saya terhasut oleh iklan sepatu “Starmon” semasa kecil –iklan sepatu yang mendominasi di sela-sela film kartun Minggu pagi di RCTI. Saya pun ikut ke Pasar Kebayoran Lama –pasar favorit Ayah untuk membelikan hadiah. Maka, saya menatap Ayah dengan memelas seolah bilang, “Dedy nggak mau sepatu kulit lagi. Maunya Starmon.” Ayah dengan sigap langsung memahami saat saya tak juga mengangguk setiap kali diberikan pilihan sepatu kulit. “Dedy mau yang ini?” tanyanya. Saya mengangguk untuk sepatu Starmon putih dengan list hijau dan hitam. Tanpa tali, hanya perekat. Saya belum bisa mengikat sepatu, kata Ayah. Dan, saya pulang dengan gembira.

Bertahun-tahun berikutnya, ketika saya dan kakak-kakak saya semakin besar, Ayah semakin sering berbelanja hadia lebaran sendirian. Pagi hari kami mengukur kaki, kepala dan bahu dengan tali rafia untuk menunggu apa yang Ayah bawa di sore harinya. Membuka plastik kresek hitam, melepas selotip yang membungkus kertas koran dan akhirnya  membuka baju koko baru selalu menjadi momen yang menyenangkan. Tak peduli lagi apakah puasa kami bolong atau penuh karena Ayah sudah memastikan anak-anaknya tidak ada satupun yang membandel untuk urusan puasa. Membuka kotak-kotak sepatu juga adalah keriaan yang tak lumat dimakan waktu.

Ayah masih melanjutkannya sampai saya SMA, bahkan kuliah. Meski tidak lagi dengan tali ukur rafia-nya. Ayah mulai mereka-reka. Dari air mukanya, saya selalu melihat harapan Ayah agar saya senang menerima hadiahnya. Maka, saya berusaha memakainya setiap kali ada acara khusus. Persis seperti Ayah yang berusaha memakai hadiah saya ketika menghadiri acara saya yang dianggapnya spesial. Sayangnya, hadiah saya tak pernah pas dengan ukuran Ayah. Saya terlalu sungkan untuk mengukur lebar bahunya dengan tali rafia.

Mencari sepatu hari ini adalah juga mengingat tali rafia Ayah di hari-hari menjelang lebaran itu. Maka, saya tak pernah merasa mudah membelinya. Saya selalu teringat Ayah yang sederhana.

Syawal 1437 H

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

0 Comments

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan