Jum’at Bersama Ayah

4 mins read

IMG_20160619_061147

Yang saya kenang dari Ayah adalah hari-hari Jumat saya bersamanya. Usia saya menginjak angka lima saat pertama kali Ayah menuntun tangan saya ke masjid untuk shalat Jum’at. Ajakan itu yang selalu saya tunggu-tunggu selepas khitan. Entah mengapa, pada masa kanak-kanak, selalu terngiang bahwa kami yang belum dikhitan belum sepantasnya masuk ke masjid dan shalat berjamaah. Maka, setelah kewajiban lelaki tersebut tunai, saya menyambut gembira setiap ajakan Ayah ke masjid.

Sekolah selesai pukul 10.30 setiap Jum’at, saya bergegas pulang ke rumah yang hanya berjarak 200 meter dari sekolah. Hanya di setiap Jum’at saya mandi tiga kali sehari: pagi – siang – sore. Sejak itulah saya mengenal mandi sunnah dan perlunya berwangi-wangian. Ayah memang selalu wangi. Sedangkan saya, masih saja bau bayi. Ya, bayi. Sampai saya kelas 2 SD, saya masih tidur bertiga dengan Ayah dan Mami. Di tengah mereka berdua. Maklum, saya bungsu dari sepuluh bersaudara. Kemanjaan saya adalah kombinasi dari nasib ragil dan terbatasnya ruang kamar si rumah bagi sepuluh anak.

Kami selalu shalat di baris pertama. Ayah memang tidak mengizinkan saya berada di baris kedua, ketiga, belakang, apalagi di lantai atas; bercampur dengan anak-anak sebaya saya yang menurut Ayah berisik dan hanya main-main di masjid. Haram, hukumnya. Sesekali saya mengintip ke belakang dan ke atas, berharap bisa bercampur dengan mereka. Tapi, harapan itu tak pernah terwujud. Ayah memang tak pernah memarahi, tapi dari diamnya saat mata saya menari-nari ingin bertanya “Mengapa?”, saya sudah memahami bahwa tidak ada jalan manapun yang bisa ditempuh untuk keluar dari titahnya.

Bertahun-tahun demikian kejadiannya. Saya berjalan bersamanya, duduk di baris terdepan dan menyimak khutbah sampai tuntas, berakhir dengan mushafahah –bersalam-salaman. Sempat saya bosan, bahkan jengkel. Melihat kakak-kakak saya yang tidak pernah saya lihat diajak seperti saya, saya sempat iri dengan ‘kebebasan’ mereka. Tapi, nasib menjadi ragil harus ditelan. Hingga saya –pada usia yang lebih dewasa, mengerti maksud Ayah.

Ayah selalu sayang. Ia ingin saya mendapat contoh terbaik. Maka, ketika saya berdiri dalam shalat, ia mengingatkan untuk tidak bergoyang-goyang. Saya ingat betul. Sesampainya di rumah, Ayah melapor ke Mami. “Dedy (panggilan kecil saya) nih, shalatnya goyang-goyang melulu.” Kalau sudah begitu, Mami yang mengambil alih peran menasihati. Berbeda dengan Ayah, Mami selalu punya pendekatan lain untuk mengatakan bahwa yang dimaksud Ayah selalu baik, termasuk amarahnya.

Shalat Jumat bersama Ayah juga selalu berarti pulang lebih telat dari anak-anak sebaya saya. Di tahun-tahun pertama, saya hanya menunggu Ayah selesai wirid. Sampai akhirnya Ayah yang mengajari untuk membaca Al Fatihah tujuh kali, dilanjutkan Al Ikhlas, Al Falaq, dan An Naas masing-masing lima kali. Jangan tanyakan dalilnya: lakukan saja. “Bukan tiga, tapi tujuh kali Al Fatihah.” Saya ingat betul itu, seperti saya ingat imbuhan akhirnya, “Kamu harus beda dari anak-anak yang lain.”

Dari ritual Jum’at itulah saya kemudian banyak dikenal oleh sahabat-sahabat Ayah. Mereka kebanyakan senang melihat anak kecil yang rutin mengikuti shalat dengan tertib. Bahkan, beberapa kali saya diberi hadiah. Salah satunya, uang Rp 10.000 yang dimasukkan ke saku saya dengan semena-mena. Saat itu, mendapat uang Rp 10.000 adalah anugerah terbesar. Bagai duran runtuh, ketika jajanan kami masih Anak Mas dan Choki-Choki seharga Rp 25. Bayangkan berapa banyak Choki-Choki yang bisa saya beli saat itu! Tapi, saat melapor ke Mami, keputusan yang diambil adalah menabungkannya. Bukan Choki-Choki. Sampai detik ini, bahkan Mami pun masih mengingatnya, termasuk nama siapa yang memberi uang Rp 10.000 itu ketika saya tak ingat lagi namanya. Yang saya ingat hanyalah kebaikan Ayah.

Maka, setiap kali saya mengingat Ayah, saya selalu ingat Birru –anak saya. Mengajaknya rutin ke masjid adalah bakti cinta saya kepada Ayah selepas Ayah wafat. Seraya berharap amal shalih Ayah tak pernah terputus. Wallahu yarhamuka, Ayah.

Syawal 1437IMG_20160619_061147

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

0 Comments

  1. Maasyaa Allaah, terharu .embaca cerita ini
    Teringat Abah Allaahu yarham
    Beliau yang pertama kali mengenalkan huruf- huruf hijaiyah, mengejanya dan sampai akhirnya saya bisa membaca AlQuran dengan baik

    Wallaahi yarhamula abah

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan