Banyak pertanyaan dalam diskusi pengajian yang muncul dan dimulai dengan kalimat, “Kemarin saya lihat ada ceramah di YouTube begini dan begitu.” Bukan hanya di sesi diskusi pengajian, pertanyaan semacam itu kerap kali hadir dalam obrolan grup media sosial. Tautan video dan gambar nasihat bergulir dari satu tangan ke tangan lain dengan cepat. Viral. Jumlahnya di luar sana – yang tak terjangkau oleh mata dan telinga saya – barangkali jauh lebih banyak. Pertanyaan itu kemudian disambut dengan pertanyaan lain, “Benarkah begitu?” Bahkan, bukan tak mungkin jika pertanyaan-pertanyaan itu diselingi dengan ejekan orang yang mengunggahnya karena tidak sesuai dengan pendapatnya sendiri.
Dalam lesat laju zaman yang begitu cepat, tak ada lagi batas ruang dan waktu dalam penyebaran informasi. Yang baru saja diucapkan bisa jadi melesat begitu cepat ke penjuru dunia, mengalir dari satu telepon genggam ke telepon genggam lainnya. Yang bertahun-tahun lalu direkam juga bisa dengan mudah dilacak kembali, menjadi jejak digital yang diunggah ulang dengan beragam imbuhan –baik yang positif maupun negatif.
Majelis yang bergeser
Pengajian, ceramah, diskusi, dan komentar keagamaan kini semua bergeser tempat dari majelis-majelis beralas tikar dan karpet menuju layar-layar sentuh dalam platform YouTube, Facebook, Instagram, dan dialihtangankan melalui media sosial lain. Majelis-majelis ilmu itu tak lagi berbatas ruang dan waktu.
Fenomena besar ini menunjukkan gairah positif di zaman yang serba instan. Bukan hanya pada kaum urban yang segala sesuatunya bergerak begitu cepat, perubahan ini juga memberikan kenyamanan lain bagi orang yang sebagian hidupnya dihabiskan di sofa dan dapur rumah tangga. Sejak kapan mengaji bisa dinikmati sembari mengiris bawang, menunggu anak-anak pulang, atau menyiapkan teh dan kopi hangat untuk pasangan?
Kemungkinan-kemungkinan itu hanya dapat dicapai lewat teknologi. Orang tak perlu buru-buru berdandan menjelang subuh untuk mendengar kajian favoritnya di satu masjid, tak perlu bersusah payah melanglang sekian kilometer untuk menyerap nasihat ustadz kesukaannya, dan tak perlu mencari-cari waktu luang yang dapat diselipkan di antara padatnya jadwal kerja harian untuk menyimak diskusi keagamaan. Semua kini menyeruak di ruang maya – hadir dalam satu jentik jari dan geser-menggeser layar. Dari yang sekadar lucu-lucuan dalam tempo potongan video satu menit, kajian lengkap tematik satu sesi penuh, atau runutan bahasan kitab yang kontinu dari waktu ke waktu. Semua dapat dipilih sesuai minat.
Tetapi teknologi memang punya sifat dahaga yang cepat. Seberapapun pentingnya sebuah kajian, hanya sedikit yang berminat berlama-lama berdiam di depan layar dalam waktu satu jam. Begitulah memang manusia dalam zaman lesat – semua ingin dikonsumsi pula dalam kelesatan. Maka, video-video keagamaan harus mengikuti pola manusia konsumennya. Dibuat dalam tempo satu menit, tiga menit, lima menit, atau delapan menit. Lebih dari itu adalah himpunan kebosanan.
Tetapi, fenomena ini memang membelukar sedemikian dahsyat. Bukan hanya pada salinan video di dalam gawai, majelis-majelis riil dengan tatap muka pun makin bergairah dari hari ke hari. Seperti ada dahaga spiritual di tengah arus zaman yang kering, orang-orang kini menggeser perilaku kesehariannya. Pada terma populer, mereka menyebutnya sebagai ‘hijrah’.
—–Bersambung—-
Tulisan berikutnya:
Jangan Tanya Ustadz YouTube (2)
Bagaimana Memilih Kajian Agama
Jebakan Sesi Tanya Jawab Ustadz