Untuk pertanyaan tipe kedua, setiap ustadz tentu memiliki pandangannya tersendiri tentang suatu permasalahan. Menjawab masalah khilafiyah sesuai dengan keyakinan pendapatnya tentu saja tidak keliru. Persoalannya di zaman lesat seperti ini – dan penyebaran videonya diamplifikasi sendiri, diintensikan dan didesain untuk disebar, atau dibiarkan terekam dan tersebar oleh ustadz dan jajarannya – membutuhkan kearifan. Ustadz tidak lagi sekadar berada di depan jamaahnya yang siap dan ridha dengan kucuran ilmu agama yang diberikannya. Rekaman ceramah dan jawaban agamanya dapat tersebar seantero dunia, baik kepada yang mengenalnya atau tidak mengenalnya, yang sependapat atau berseberangan pendapat dengannya, yang siap menerima atau menolak pendapatnya, dan yang mencintainya atau membencinya.
Pada situasi ini, setiap jawaban menjadi rumit. Benarkah?
Arif dalam perbedaan
Tidak rumit jika ego kelompok yang dominan. Semua pertanyaan dapat dijawab dengan mudah sesuai keyakinannya tanpa membuka ruang perbedaan. Yang ini benar, yang itu salah. Pendapat ini yang harus diikuti, pendapat lain tak punya dasar.
Apa implikasinya? ‘Perang’ video! Yang satu menyindir yang lain dengan ilmunya masing-masing dan merasa benar sendiri dengan pendapatnya. Pengajian kemudian tidak memproduksi kearifan, tetapi tertawaan, candaan, sindirian, bahkan makian. Pengajian kehilangan arah dari potensi da’wah yang mengajak semua muslim mendapatkan rahmat dan ampunan Allah menjadi saling menyalahkan dan menyingkirkan dari surga. Pengajian mengikis rimbunan kasih sayang hingga kering kebaikannya karena masing-masing menkonsumsi bangkai saudaranya sendiri.
Implikasi lainnya adalah kebingungan tiada tara. Benarkah begini, benarkah begitu. Mereka yang sejak kecil mempraktikkan Islam dengan jalan ibadah A, kemudian mendapati ‘ilmu baru’ lewat jalan B, kerap bingung dan bertanya. Apakah selama ini saya salah? Apakah yang dilakukan orang tua dan kakek-nenek saya keliru dan mereka tak layak masuk surga?
Kondisi ini pun kerap terjadi pada komunitas muslim Indonesia di luar negeri. Belanda, misalnya. Pada beberapa situasi ketika ada pemuka agama datang dari Indonesia ke Belanda, jamaah memanfaatkan waktu tanya jawab dengan bertanya mengenai hukum. Banyak yang berupaya menjawabnya meski dengan keterbatasan pemahaman terhadap konteks yang ada. Dan, pada kondisi-kondisi tersebutlah jawaban dapat menjadi benalu tersendiri, baik bagi jamaah maupun bagi si pemuka agama.
Pada beberapa obrolan singkat, muncul keprihatinan terhadap kondisi ini. Misalnya, pemuka agama yang datang ke Belanda kemudian menjawab persoalan hukum berbuka puasa di musim panas dengan memperbolehkan berbuka sesuai waktu Mekkah. Di kesempatan lain, ada yang menghalalkan konsumsi daging dari manapun dengan cukup membaca basmalah tanpa menilik konteksnya secara cermat. Pada banyak kondisi, kebingungan terjadi ketika jamaah mencoba mencari sendiri jawaban hukum lewat internet. Muncullah di hadapan mereka jawaban-jawaban yang rigid, kaku, dan seringkali bersumber hanya dari satu pendapat. Ketika ada perbedaan pendapat dari pemuka agama lain, kebingungan semakin menjadi-jadi.
Lalu, harus bagaimana?
Tentu saja, ada banyak variasi hukum dan fleksibilitas perubahannya. Ada yang tak dapat berubah, qath’i, dan disepakati oleh semua mazhab. Ada yang hukum terhadap sesuatu berbeda antar mazhab. Ada hukum yang berlaku secara umum, by default, kemudian dapat berubah sesuai konteksnya.
Menetap di negara yang mayoritas penduduknya non-muslim dengan situasi sosial budaya, dan politik yang sama sekali berbeda dengan Indonesia tentu membutuhkan pemahaman konteks yang ajeg, fleksibiltas, dan kearifan tanpa meninggalkan perkara asal dalam penetapan hukum (istinbat al hukm) itu sendiri. Pada situasi inilah jamaah perlu diberikan penjelasan yang benderang mengenai sumber hukum dan perbedaan penetapan hukum atas suatu hal dengan penjelasan yang sederhana, tidak terlampau mendalam hingga ke persoalan ushul fiqih yang rumit, tetapi juga tidak terlampau dangkal dengan hanya menjawab boleh-tidaknya, halal-haramnya, atau bahkan surga-nerakanya.
—Bersambung—
Tulisan sebelumnya:
Jangan Tanya Ustadz YouTube (1)
Jangan Tanya Ustadz YouTube (2)
Bagaimana Memilih Kajian Agama
Jebakan Sesi Tanya Jawab Ustadz
Tulisan berikutnya: