Tulisan kedelapan dari rangkaian tulisan “Jangan Tanya Ustadz YouTube”
Secara sederhana, ada dua sumber hukum primer dalam Islam, yaitu Al Qur’an dan Hadits. Meski keduanya merupakan sumber hukum primer, bukan keduanya menjelaskan semua persoalan hidup manusia di dalamnya secara detail. Al Qur’an, betatapun ia hadir sebagai jalan petunjuk, bukanlah sebuah kitab hukum yang menetapkan status satu zat atau perbuatan. Bahkan, karena sifatnya yang memberikan pedoman umum, seringkali ada perbedaan pendapat antar ulama mengenai tafsir satu ayat Al Quran dan konsekuensi hukum darinya. Maka, ia membutuhkan penerang dan penafsir. Ada kalanya, satu ayat Al Quran ditafsirkan dan diterangkan oleh ayat lainnya. Ada kalanya pula ayat Al Qur’an dijelaskan melalui hadits Rasulullah ﷺ.
Mengapa berbeda?
Contoh paling sederhana adalah shalat. Tidak ada pedoman teknis mengenai shalat di dalam Al Qur’an. Bagaimana cara takbir, berapa rakaat, apa bacaan ruku dan sujud? Al Quran tidak menjelaskan persoalan detail seperti itu. Maka, kemudian dijelaskan oleh Rasulullah ﷺ dengan perintahnya, صلّوا كما رأيتموني اصلّي , shalatlah kalian seperti aku shalat. Nah, di sinilah kemudian letak persoalan lainnya. Bagaimana cara shalat yang benar?
Orang-orang yang tumbuh semasa kecil di sekolah Indonesia barangkali mengenali secara lekat buku “Risalah Tuntunan Shalat lengkap” – sebuah buku kecil berisi tatacara shalat dari awal sampai akhir dengan semua bacaannya – karya Drs Moh Rifai. Buku satu juta umat pada masanya.
Tetapi kemudian melewati masa dewasa awal di sekolah-sekolah umum atau kampus dengan semangat ber-Islam yang luar biasa, banyak yang bersinggungan dengan ‘ilmu baru’. Mereka bertemu dengan buku-buku sifat shalat Rasulullah dengan beragam jenisnya. Ada ‘Sifat Shalat Nabi’ karya Imam Nashiruddin al Albany, ada ‘Sifat Shalat Nabi’ karya Syaikh Muhammad Al Utsiamin, ada ‘Sifat Shalat Nabi’ karya Syaikh Abdullah bin Abdirrahman al Jibrin, ada pula ‘Sifat Shalat Nabi’ karya Yazid bin Abdul Qadir Jawwaz. Semua buku terjemahan itu – kecuali karya Abdul Qadir Jawwaz yang merupakan pemuka agama di Indonesia – berjudul sama, dengan isi yang seringkali berbeda dibandingkan buku ‘Risalah Tuntunan Shalat Lengkap’ semasa kecil. Dengan judul yang sama pun, buku-buku itu memiliki banyak perbedaan pandangan antar satu dengan yang lainnya.
Belum lagi YouTube, Facebook, Instagram dan platform berbagi video yang lain begitu gencar menyebarkan pendapat ustadz satu dengan yang lainnya. Yang satu bilang, “Tidak ada contohnya dari Nabi”, yang lain menyanggahnya. Siapa yang bingung? Umat jamaah facebokiyah dan youtoubiyah.
Di tengah kebingungan itu, saya seringkali mendapat pertanyaan, “Benarkah begini?” sambil menyediakan link terhadap satu video yang berseliweran di alam maya. Judulnya bombastis: hati-hati kesalahan dalam shalat. Persoalannya sebenarnya sederhana. Barangkali si pengunggah video baru saja belajar dari satu buku sifat shalat nabi dan tak begitu lengkap membaca berbagai pandangan. Karena begitu semangatnya saat belajar dan memahami hal baru, kemudian dia menyalahkan tata cara shalat orang lain yang selama ini dilihatnya di masjid-masjid.
Di Rotterdam, dan di belahan negeri lainnya, pun demikian. Orang Islam Indonesia sering bersinggungan dengan orang Islam dari negara lain, seperti Maroko, Turki, Aljazair, atau Bangladesh. Saat melakukan satu ritual, misalnya wudhu, kemudian dilihat oleh orang lain dari Maroko, misalnya, wudhu si orang Indonesia ini disalah-salahkan dan diminta untuk diulang. Shalatnya dianggap tak sah. Pertanyaan-pertanyaan serupa kemudian bermunculan dari perkara-perkara kecil ini. Belum lagi persoalan ibadah yang lain yang tak kalah rumitnya, semisal bolehkah mengusap sepatu saja saat wudhu, dapatkah men-jama’ shalat, halalkah membeli rumah melalui hipotek atau hutang kredit, hingga tudingan ketidakadilan jender dalam Islam dalam perkara hubungan suami-istri, pekerjaan, dan warisan.
Dalam berbagai diskusi di pengajian, saya berupaya untuk mendudukan permasalahan mengenai perbedaan tata cara ibadah dan persoalan hukum ini secara jernih. Bagi beberapa orang Indonesia di luar negeri yang mendapatkan ‘tamparan’ komentar demikian barangkali membuatnya kaget, bahkan menganggap di komentator dan pengunggah video sebagai orang-orang ekstrem. Bagi beberapa yang lain menganggapnya sebagai pengetahuan baru yang layak dipraktikkan dan kemudian menganggap kebiasaan lama harus ditinggalkan secara sempurna – lalu memilih untuk memisahkan diri dari ‘jamaah lama’ dengan praktik-praktik barunya tersebut. Sebagian yang lain barangkali telah memiliki ustadz dan imam pilihannya sendiri yang – bagaimanapun pendapat lain muncul – mereka bersikukuh dengan pendapat ustadz dan imam panutannya tersebut tanpa membuka ruang diskusi.
Saya berupaya untuk duduk di tengah dan menjelaskan perkara perbedaan simpulan hukum ini dengan hati-hati tanpa mendiskreditkan satu pendapat dibandingkan pendapat lainnya. Tentu, hal itu sulit untuk dilakukan. Pertama, kebanyak orang ingin jawaban yang instan, tidak berbelit, dan langsung pada simpulan hukumnya. Kedua, tidak semua orang dapat memahami uraian ushul fiqh yang memang seringkali kompleks. Ketiga, kebanyakan orang telah memiliki pendapatnya sendiri dan bukan tidak mungkin berupaya untuk mendapatkan justifikasi benarnya pendapat yang mereka ambil tersebut.
Di sinilah rumitnya ber-da’wah dan mengajar. Tidak hanya butuh wawasan yang dalam dan luas, tetapi juga kearifan. Maka, ada beberapa prinsip mengajar dan da’wah yang lahir dari perjumpaan-perjumpaan saya dengan banyak orang di tengah lesatnya laju informasi dan da’wah ini.
—Bersambung—
Tulisan sebelumnya:
Jangan Tanya Ustadz YouTube (1)
Jangan Tanya Ustadz YouTube (2)
Bagaimana Memilih Kajian Agama
Jebakan Sesi Tanya Jawab Ustadz
Tulisan berikutnya